(: Welcome to Official Iladiena Zulfa Blog :)

0

Jurnalisme Islam dan Eksistensinya dalam Sistem Komunikasi Internasional

Posted by zulfailadiena.blogspot.com on 21.36 in , , , ,
Ujian Akhir Semester (UAS) Mata Kuliah Sistem Komunikasi Internasional 
Konsenterasi Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi 
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 

JURNALISME ISLAM

Jurnalistik atau journalisme berasal dari perkataan journal, artinya catatan harian, atau catatan mengenai kejadian sehari-hari, atau bisa juga berarti suratkabar. Journal berasal dari perkataan Latin diurnalis, artinya harian atau tiap hari. Dari perkataan itulah lahir kata jurnalis, yaitu orang yang melakukan pekerjaan jurnalistik. MacDougall menyebutkan bahwa journalisme adalah kegiatan menghimpun berita, mencari fakta, dan melaporkan peristiwa.[1]
Sedangkan jurnalisme Islam, dapat dimaknakan sebagai suatu proses meliput, mengolah dan menyebarluaskan berbagai peristiwa dengan muatan nilai-nilai Islam, serta berbagai pandangan dengan perspektif ajaran Islam kepada khalayaknya. Jurnalisme Islam dapat pula dimaknai sebagai proses pemberitaan atau pelaporan tentang berbagai hal yang sarat dengan muatan dan sosialisasi nilai-nilai Islam dengan mengedepankan dakwah Islamiyah.”[2]
Definisi lainnya adalah; “...jurnalisme Islam sarat dengan tuntutan dakwah yang mengemban misi ‘amar ma’ruf nahi munkar.’ Jurnalisme Islam adalah upaya dakwah Islamiyah, karena jurnalisme Islam bermisi ‘amar ma’ruf nahi munkar,’ maka ciri khasnya adalah menyebarluaskan informasi tentang perintah dan larangan Allah SWT. Jurnalistik ini berusaha keras untuk memengaruhi komunikasi/khalayaknya agar berperilaku sesuai dengan ajaran Islam.”[3]
            Jalaluddin Rahmat menyebut jurnalis Islam sebagai al-Qalam dan sebagai pemahat yang mengabadikan peristiwa dan pandangan umat manusia (news and views). Ia mengutip pendapat Ali bin Abi Thalib bahwa tulisan adalah tanaman para ulama sebagai media digunakan oleh para ulama dalam perkembangan Islam. Menurutnya Imam al-ghazali adalah jurnalis dalam Ikhya ulum al-Din. Imam Ghazali menceritakan ulama di zamannya dan at-Thabari yang merekam seluruh peristiwa sejak nabi Adam as sampai peristiwa di zamannya dalam Tarikh Al-Umam Wa Al-Mulk.[4]




Beberapa peran dan tugas para jurnalis Islam yang penting antara lain:[5]
1.    Mendidik masyarakat Islam (ta’dib al-ummah)
Mendidik umat yang dimaksud di sini adalah dalam pengertian yang luas, yakni membina peradaban umat atau menjadikan umat menjadi beradab sehingga terbentuklah masyarakat madani (berperadaban).
2.    Mencari dan menggali informasi/pengetahuan serta memberi dan menyebarkan informasi (ta’lim) yang benar dan bermanfaat
Peran para jurnalis muslim, sebagaimana juga para ulama Islam dalam mencari dan menggali informasi atau ilmu pengetahuan untuk kemudian menyebarkan atau menyampaikannya kepada masyarakat. Secara eksplisit (tersurat) maupun implisit (tersirat) hal ini diungkap dalam beberapa ayat kitab suci Al-Qur’an berikut ini:
“Ajaklah (manusia) ke jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bentaklah mereka dengan cara yang baik pula. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk,” (QS An-Nahl [16] : 125).
3.    Melakukan seleksi, filterisasi dan chek and rechek (tabayyun) terhadap berbagai informasi global untuk membentengi umat Islam dari pengaruh buruk informasi (fitnah) global
Tidak semua informasi yang ada itu baik, benar dan bermanfaat bagi setiap individu dan umat Islam. Informasi yang bersifat fitnah, hasud, atau dakwah syaitaniyah (seperti kemaksiatan, pornografi, kefasikan, kemusyrikan dan khurafat) harus diteliti dan dicekal agar tidak menyebar di kalangan umat Islam. Fungsi penelitian, penyaringan dan pemilihan informasi ini, dikenal dengan istilah tabayyun sebagaimana yang disebutkan Allah Swt. dalam ayat berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mangetahui keadaan yang sebenarnya, yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu,” (QS Al-Hujuràt [49] : 6).
4.    Mengajak dan menasihati umat dengan cara yang baik untuk mengikuti jalan hidup Islam yang diridhai Allah (dakwah ilallâh)
Dakwah Islamiah adalah mengajak umat manusia untuk mengikuti dan mengamalkan ajaran Islam. Dengan cara persuasi dan argumentasi yang baik melalui tulisannya di media massa, seorang jurnalis Muslim juga mempunyai peran dan kewajiban dakwah di jalan Allah, baik secara halus, samar dan tersirat (implisit), maupun secara terang-terangan (eksplisit). Strategi, taktik, dan teknik-teknik psikologi komunikasi yang baik dapat digunakan untuk mengajak umat Islam dan masyarakat manusia pada umumnya untuk mngikuti jalan hidup dan hukum yang diridhai Allah Swt., demi kesejahteraan manusia itu sendiri dan kesejahteraan seluruh alam semesta (rahmatan lil’âlamin).[6]
5.    Menyampaikan dan membela kebenaran (tawashaw bil-haq)
Fungsi kontrol sosial atau pengawasan oleh masyarakat adalah merupakan fungsi terpenting dalam menjaga keadilan, keselarasan, dan keberlangsungan suatu sistem peradaban masyarakat yang meliputi subsistem: ideologi, politik, ekonomi, sosial, pertahanan-keamanan, pendidikan dan budaya.
6.    Membela dan menegakkan keadilan sosial bagi umat Islam dan bagi seluruh rakyat Indonesia dan dunia
Terkait dengan tugas dan perannya sebagai pembela kebenaran dan penentang kebatilan, maka fungsi dan peran serta proaktif para jurnalis Muslim dalam menegakkan keadilan, adalah misi/kewajiban utama setiap Muslim, terlebih lagi bagi para jurnalis Islam.
7.    Memberikan kesaksian atau mengungkap fakta dengan adil
Jurnalis Muslim dapat berperan untuk menjaga kejujuran di masyarakat dan melawan kebohongan-kebohongan yang membodohi dan menipu masyarakat. Dengan dilaksanakan fungsi atau peran pemelihara dan penjaga kejujuran ini maka masyarakat tidak akan dihancurkan oleh praktik-praktik korupsi-kolusi dan nepotisme (KKN) yang melahirkan ketidakadilan sosial yang menyengsarakan rakyat banyak.
8.    Memerintahkan kebaikan (amar ma’ruf) dan mencegah kemungkaran (nahyi munkar)
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah..,” (QS Ali Imran [3] : 110).
9.    Menghalalkan yang baik dan mengharamkan yang buruk
Jurnalis Islam melalui tulisan tau tayangannya di media massa punya peran dan kewajiban untuk menularkan kebaikan dan mempromosikan kehalalan segala sesuatu baik dalam hal makanan, ucapan, perbuatan ataupun sikap dan mengharamkan segala keburukan bagi masyarakatnya.
10.    Memberi peringatan kepada para pelaku kejahatan/dosa (nadziran), memberi kabar gembira/hiburan kepada para pelaku kebaikan (basyiran0
“.. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah),” (QS Al-Hajj [22] : 34).
11.    Membela kepentingan kaum yang lemah (imdad al-mustadh’afin) dan membebaskan umat dari beban dan belenggu yang memasung mereka
Karena informasi pada saat ini adalah suatu kekuatan/kekuasaan, maka jurnalis Muslim yang menguasai informasi pun wajib memanfaatkan kekuatannya itu untuk membela kaum yang lemah dan kaum yang dilemahkan (dhuafa dan mustadh’afin).
12.     Memelihara dan menjaga persatuan dan kesatuan umat Islam
Karena peranan dan efek informasi yang multifacet (beragam wajah), yang bisa membawa manfaat dan berkah, tetapi juga dapat membawa fitnah dan laknat, maka para jurnalis Islam selayaknya menentukan kualitas isi dan pengaruh/efek dari informasi yang disebar luaskannya.
Seorang jurnalis Islami juga adalah seorang reformis & reformer (pembaharu) yang berjuang mewujudkan cita-cita terbentuknya “Good Governance” (yaitu tata kepemerintahan yang baik), pemberdayaan “Masyarakat madani” (civil society) dan mengikis habis praktik-praktik KKN (Korupsi-kolusi & nepotisme).[7]

Dari kelima peran jurnalisme Islam di atas, dapat disimpulkan tiga unsur  dalam praktek jurnalisme melalui media cetak;[8]
1.      at-Taujîh, yaitu memberikan tuntutan dan pedoman serta jalan hidup melalui media cetak, mana yang harus dilalui manusia dan jalan mana yang harus dihindari, sehingga nyatalah jalan hidayah jalan yang sesat.
2.      at-Tagyhîr, yaitu mengubah dan memperbaiki keadaan pembaca kepada suasana hidup yang baru yang didasarkan pada nilai-nilai Islam.
3.      at-Tarjîh, yaitu memberikan pengharapan akan sesuatu nilai agama yang disampaikan para penulis-penulis. Dalam hal ini media cetak sebagai sarana dakwah harus mampu menunjukkan nilai apa yang terkandung di dalam suatu pemerintah agama sehingga dirasakan sebagai suatu kebutuhan vital dalam kehidupan masyarakat.

Adapun peran dan tugas para jurnalis Islam menurut Ahmad Y Samantho yaitu sebagai berikut:[9]
1.      Mendidik masyarakat Islam (ta’dib al-ummah).
2.      Mencari dan menggali informasi/pengetahuan serta memberi dan menyebarkan informasi (ta’lim) yang benar dan bermanfaat.
3.      Melakukan seleksi, filterisasi dan chek and rechek (tabayyun) terhadap berbagai informasi global untuk mmbentengi umat Islam dari pengaruh buruk informasi (fitnah) global.
4.      Mengajak dan menasehati umat dengan cara yang baik untuk mengikuti jalan hidup Islam yang diridhai Allah (da’wah ilallah).
5.      Menyampaikan dan membela kebenaran (tawashaw bil-haq).
6.      Membela dan menegakkan keadilan sosial bagi umat Islam dan bagi seluruh rakyat Indonesia dan dunia.
7.      Memberikan kesaksian atau mengungkap fakta dengan adil.
8.      Memerintahkan kebaikan (amar ma’ruf) dan mencegah kemungkaran (nahyi munkar).
9.      Memberi peringatan kepada para pelaku kejahatan/dosa (nadziran), memberi kabar gembira/hiburan kepada para pelaku kebaikan (basyiran).
10.  Membela kepentingan kaum yang lemah (imdad al-mustadh’afin) dan membebaskan umat dari beban dan belenggu yang memasung mereka.
11.  Memelihara dan menjaga persatuan dan kesatuan umat Islam.

EKSISTENSI JURNALISME ISLAM DALAM
SISTEM KOMUNIKASI INTERNASIONAL

Menurut Onong Uchjana Effendi, komunikasi internasional adalah komunikasi yang dilakukan komunikator yang mewakili suatu negara untuk menyampaikan pesan-pesan yang berkaitan dengan berbagai kepentingan negaranya kepada komunikan yang mewakili negara lain untuk memperoleh dukungan, bantuan, dan kerja sama, melalui berbagai media. Komunikasi atau media massa internasional, lanjut Effendi, adalah sebuah komunikasi yang interaksi dan ruang lingkupnya bersifat lintas negara serta berlangsung di antara orang-orang yang berbeda kebangsaan atau lembaga-lembaga dari negara yang berbeda-beda dan memiliki jangkauan penyampaian pesan melintasi batas-batas wilayah suatu negara.[10]
Ditilik secara paradigmatis, bidang studi komunikasi internasional ditentukan sekurangnya oleh tiga unsur, yaitu komunikator-komunikan terdiri dari bangsa yang berbeda, pesan yang disampaikan berkaitan dengan masalah-masalah internasional, dan saluran yang digunakan adalah saluran internasional. Meski komunikator-komunikannya dari bangsa yang berbeda, apabila pesan yang dibahas mengenai fitur mobil balap dan percakapannya terjadi di sebuah kafe, komunikasi tersebut tidak bisa disebut komunikasi internasional. Akan tetapi, pembicaraan tentang ekspor-impor mobil yang dibicarakan dua orang dari bangsa yang berbeda dan terjadi di pameran internasional, termasuk dalam pengertian komunikasi internasional.
Komunikasi internasional lebih banyak menekankan kajian atau realitas politik memfokuskan pada pesan yang bermuatan kebijakan dan kepentingan suatu negara dengan negara lain sebagai realitas politik yang terkait dengan masalah ekonomi, politik, pertahanan, dan lain-lain dan lebih khusus lagi kajian strategi komunikasi internasional.
Dalam perkembangannya, ditinjau dari sudut aplikasi, disiplin komunikasi internasional kerap dipraktikkan dengan menggunakan empat pendekatan dominan, yaitu pendekatan idealistik-humanistik, kepengikutan politik baru (political proselytization), informasi sebagai kekuatan ekonomi dan kekuatan politik. Secara ideal, komunikasi internasional ditujukan untuk mewujudkan saling pengertian, saling mendukung, dan kerja sama antar manusia dan antar penduduk di setiap negara. [11]
Dalam pendekatan idealistik-humanistik, komunikasi internasional diterapkan sebagai metode untuk memupuk dan mempererat hubungan persahabatan dan kerja sama internasional; memecahkan masalah-masalah hubungan antar manusia, antar penduduk, dan antar bangsa; dan menemukan cara-cara untuk memelihara dan meningkatkan kesejahteraan dunia semesta. Namun, dalam pergaulan internasional tidak jarang terjadi gesekan-gesekan akibat penonjolan kepentingan yang sulit dihindari atau dikendalikan. Di sini, pihak yang menguasai informasi serta memiliki ambisi politik dan ekonoi serta berbagai sumber daya lainnya kerap mengabaikan pihak lain.
Dalam perspektif jurnalistik, komunikasi internasional adalah studi tentang berbagai macam interaksi yang lebih bersifat mass mediated communication (MMC) yang dilakukan antara dua atau beberapa negara yang berbeda latar belakan budaya, bahasa, ideologi, politik, tingkat perkembangan ekonomi, dan sebagaianya.[12]
Komunikasi internasional dalam arti bersifat MMC berbeda dengan bidang-bidang komunikasi lainnya. Komunikasi intrernasional berbasis MMC memfokuskan perhatiannya pada isu-isu sosial dan politik, ekonomi, dan kebudayaan serta pemanfaatan jaringan media massa internasional. Dalam konteks ini, ada tiga kriteria yang membedakan komunikasi internasional dengan bentuk komunikasi lainnya, sebagai berikut:
a.       Jenis pesannya bersifat internasional;
b.      Komunikator dan komunikannya berbeda kebangsaan;
c.       Saluran media yang digunakan bersifat internasional.
Kegiatan komunikasi internasional dalam perspektif jurnalistik lazimnya dilakukan melalui saluran media cetak dan media elektronik  berupa pertukaran informasi untuk menginformasikan peristiwa internasional, memengaruhi opini publik internasional, menemukan peluang bisnis, atau mendorong upaya kerja sama.
Kegiatan komunikasi internasional lazimnya berlangsung secara wajar, objektif, dan alami. Sekurangnya kegiatan ini bersifat netral dan menghindari sikap sengaja  memojokkan pihak lain. Walaupun demikian, ada kemungkinan perspektif jurnalistik digunakan secara subjektif untuk kepentingan propaganda dengan tujuan akhir mengubah kebijakan dan kepentingan satu negara atau memperlemah posisi negara lawan atau memperburuk citra negara lain yang dipandang tidak/kurang bersahabat.[13]
EKSISTENSI JURNALISME ISLAM dalam Sistem Komunikasi Internasional terlihat dari jejak-jejak historisnya yang bisa ditelusuri. Pada tahun 1978 dalam konferensi Islam Asia di Karachi yang diselenggarakan oleh Rabithah ‘Alam Islamy diputuskan perlunya mengembangkan koordinasi di antara wartawan atau jurnalis  dan pekerja muslim untuk mengimbangi an menandingi monopoli Barat yang dikontrol kaum Zionis dapat diklasifikasikan sebagai media atau pers Islam. Namun, cakupan tersebut telah dipersempit dan dikhususkan dalam konferensi internasional pertama wartawan dan pekerja media muslim di Jakarta pada bulan September 1981.[14]
Konferensi tersebut dihadiri oleh sekitar 250 wartawan muslim dari 50 negara. Para delegasi membicarakan rekomendasi komite persiapan yang telah mengadakan pertemuan sebelumnya di Lefkosa tahun 1979. Para delegasi tersebut tidak memberikan definisi apapun mengenai media atau pers Islam, akan tetapi menerima persetujuan untuk para pekerja media muslim. Persetujuan dalam konferensi itu hanya menekankan pada dua hal. Pertama, aturan berperilaku yang Islami hendaknya menjadi dasar bagi setiap pekerja media muslim dalam kegiatan dan tugas jurnalistiknya. Kedua, kepribadian Islam. Kedua hal tersebut sangat menekankan pada konsolidasi keimanan individu muslim pada prinsip etika dan nilai-nilai Islam sebagai kewajiban utama media muslim atau pers Islam.[15]
Menurut Aslam Abdullah, saat sekarang ini tercatat sekitar 42 kantor berita yang dikelola oleh negara-negara muslim. Dari sekian banyak kantor berita tersebut, tidak satu pun yang dominan. Malahan, kantor berita itu, dalam operasinya sangat bergantung pada kantor-kantor berita dominan Barat. di negara-negara bekas penjajah Prancis dan Inggris seperti di Timur Tengah dan Afrika, negara kolonial itu mendirikan kantor-kantor beritanya sendiri yang disuplai oleh kantor berita AFP. William H. Meyer mengungkapkan peta distribusi informasi dunia, yakni ketergantungan media cetak di Afrika terhadap empat kantor berita raksasa dunia, yaitu AFP, Reuters, UPI dan AP sebanyak 62% dan 56% di Amerika Latin (MISSI 2003: 15).  Studi Meyer tersebut setidaknya menunjukkan bahwa media Barat memang sangat dominan dalam memasok informasi dunia. Kantor-kantor berita muslim kalaupun sanggup memproduksi berita, tidak lebih dari 1000 kata dalam 24 jam. Sedangkan kantor-kantor berita Barat mampu memproduksi ratusan ribu kata dalam 24 jam.
Organisasi Konferensi Islam (OKI) tampaknya sadar betul akan ketimpangan arus informasi Barat dengan muslim ini. Untuk melepaskan diri dari informasi agen-agen berita Barat, OKI lalu mendirikan kantor berita International Islamic News Agency (IINA) yang diharapkan mampu menjadi penyeimbang atas informasi dan pemberitaan media Barat yang seringkali bias. Pembentukkan IINA tersebut diputuskan pada Konferensi Menteri-Menteri Luar Negeri Islam II tahun 1970. Di penghujung 1979, IINA mulai memberikan pelayanan beritanya lewat bahasa Inggris dan Arab. Kantor berita ini mengaku dapat mengakses informasi mencapai sepuluh ribu sampai dua belas ribu kata per hari. Ia juga mengedarkan buletin berbahasa Spanyol  yang dipasok ke Amerika Latin. Lembaga ini pun merencanakan untuk membangun jaringan telekomunikasinya sendiri. Namun, IINA hingga sekarang, gagal menjadi alternatif terhadap kantor-kantor berita dunia yang ada.
Hingga kini, sebagaimana terungkap dalam survei 1986, kebanyakan media Muslim yang berbahasa Inggris, Arab, Parsi, dan Urdu yang terbit di 12 negara muslim, tetap saja mengambil sumber berita dari Barat. Sampai saat sekarang ini, menurut Aslam, jumlah kantor berita yang dikuasai muslim hanyalah 5%, sedangkan selebihnya (95%) dikuasai dan dikendalikan oleh kantor-kantor berita Barat.[16]
Dalam konteks nasional, nasib media Islam hampir sama posisinya seperti yang terjadi dalam mkonteks global. Dari sekitar 275 pemilik SIUPP, hanya 13 SIUPP yang mengatasnamakan media Islam. Tiga belas SIUPP itu di antaranya, Panji Masyarakat Kiblat, Panggilan Adzan, Amanah, Harmonis, Aku Anak Saleh, Adil, Semesta, Sinar Darussalam, Suara Muhammadiyah, Suara Aisyiah dan AL-Akhirat. Belakangan di Bandung terbit Hikmah. Di samping penerbitan Islam dengan SIUPP, ada juga beberapa media Islam yang dalam penerbitannya menggunakannya STT, seperti Media Dakwah, Suara Masjid, Suara Hidayatullah, dan lain-lain.[17]
Bila dilihat dari jumlah nominal umat Islam di Indonesia, tentu saja jumlah media muslim yang terbit sekarang sangat kurang memadai. Belakangan pasca reformasi, jurnalisme (pers) Islam semakin menggeliat dalam merespons perubahan sosio-politik yang terjadi dengan maraknya penerbitan pers. Hal ini terjadi setelah kran kebebasan pers dibuka oleh rezim transisi pemerintahan Habibie. Saat itu, menteri penerangan yang dijabat Yunus Yosfiah mengambil kebijakan berupa penghapusan SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers). Untuk memberikan jaminan kebebasan dan kemerdekaan pers, pemerintah kemudian mengesahkan Undang-Undang Pokok Pers No.40 tahun 1999. Bukan rahasia lagi bahwa hubungan Islam dan pemerintah sempat mengalami masa-masa sulit di era rezim Orde Baru yang monolitik dan represif.[18]
      Pemaparan terkait eksistensi Jurnalisme Islam dalam Sistem Komunikasi Internasional di atas telah menunjukkan bahwa kegiatan pers dunia belum bisa didominasi oleh media dan kantor berita muslim. Kendati demikian, adanya kantor berita muslim yang berkontribusi terhadap produksi pemberitaan dunia telah membuktikan bahwa masyarakat muslim dunia tidak hanya menjadi konsumen atau penerima berita saja. Masyarakat muslim turut berpartisipasi untuk kemajuan perkembangan umat Islam dalam sisi jurnalisme ataupun hal lainnya.

CONTOH FAKTUAL

Kasus dalam Sistem Komunikasi Internasional dan Kaitannya dengan Jurnalisme Islam
Krisis Komunikasi Denmark Dan Dunia Islam (Kasus Kartun Nabi)
Pada 30 september 2005, harian Denmark, Jylland Posten, memublikasikan 20 gambar karikatur Nabi Muhammad  karya Kurt Westergaard. Penerbitan karikatur itu jelas saja menuai kemarahan umat Islam di seluruh dunia, karena dalam ajaran Islam penggambaran diri Nabi Muhammad dalam bentuk apapun dilarang dan haram hukuumnya. Jyllands Posten adalah surat kabar terbesar di Denmark.
Enam dari kedua belas karikatur tersebut diterbitkan ulang di surat kabar Mesir, El Faqr, pada 30 Oktober 2005 untuk mendampingi sebuah artikel yang mengkritik keras tindakan Posten, namun saat itu karikatur-karikatur ini belum mendapat perhatian yang besar di luar Denmark.  Hanya pada Desember 2005, saat Organisasi Konferensi Islam mulai menyatakan penentangannya, barulah kontroversi ini menghangat di dunia. Sebagian dari karikatur tersebut diterbitkan di surat kabar NorwegiaMagazinet, pada tanggal 10 Januari 2006. Koran Jerman, Die Welt, surat kabar Perancis France Soir dan banyak surat kabar lain di Eropa serta surat kabar di Selandia Baru dan Yordania.
Di Indonesia, tercatat ada dua media massa menerbitkan karikatur-karikatur ini, masing-masing Tabloid Gloria (5 karikatur) dan Tabloid PETA. Pemimpin redaksi (pemred) Gloria kemudian meminta maaf dan menarik penerbitannya, sedangkan pemimpin umum dan pemred PETA dijadikan tersangka.
Pemerintah Denmark menyesalkan penerbitan karikatur tersebut , namun tetap mengedepankan dalih kebebasan pers. Sikap Pemerintah Denmark itu merupakan suatu hal yang sulit diterima Negara-negara berpenduduk Muslim.
Di tinjau dari perspektif diplomatik, permintaan para duta besar untuk bertemu langsung dengan Perdana Menteri Denmark tidak digubris. Akibatnya, para dubes menjadi kecewa dan marah, dan melaporkan hal ini kepada Pemerintah pusat masing-masing, yang semuanya mengangkat isu ini menjadi masalah Internasional.
Sementara itu, amarah menjalar di seluruh dunia Islam, mulai dari protes damai hingga aksi kekerasan. Di Denmark, sekelompok masyarakat mengirim e-mail masal kepada dunia Islam yang berisi permintaan maaf dan mengutuk penerbitan kartun tersebut. Arab Saudi dan Suriah melakukan protes keras dengan memanggil pulang duta besar mereka untuk Denmark. Dijalur Gaza, puluhan orang bersenjata mengepung kantor Uni Eropa. Di najaf, Irak, ratusan orang berunjuk rasa sambil membakar bendera Denmark. Pemerintah Iran bersikap lebih keras lagi hingga mengeluarkan larangan impor dari dan menghentikan hubungan dagang dengan Denmark. Bisnis perusahaan-perusahaan Denmark merosot drastis di Timur Tengah akibat aksi Boikot terhadap produk-produk Eropa. Di Indonesia juga ada reaksi keras, dan sempat terjadi demonstrasi di depan Kedutaan Besar Denmark.



[1] Muhammad Budyatna, Jurnalistik: Teori & Praktik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), hal. 15
[2] Andreas Harsono, A9ama Saya Adalah Jurnalisme, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2010) hal 49.
[3] Andreas Harsono, A9ama Saya Adalah Jurnalisme, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2010) hal 50.
[4] Armawati Arbi, Dakwah dan Komunikasi, (Tangerang Selatan: UIN Jakarta Press, 2003) hal 269.
[5] Ahmad Y. Samantho, Jurnalistik Islami: panduan praktis bagi para aktifis muslim, (Jakarta: Harakah, 2002), hal. 66
[6] Ahmad Y. Samantho, Jurnalistik Islami: panduan praktis bagi para aktifis muslim, (Jakarta: Harakah, 2002), hal. 66-72
[7] Ahmad Y. Samantho, Jurnalistik Islami: panduan praktis bagi para aktifis muslim, (Jakarta: Harakah, 2002), hal. 72-74
[8] Fahrurrozi Dahlan, Al-Qur’an dan Praktek Jurnalisme, http://fahrurrozidahlan.blogspot.co.id/2015/09/al-quran-dan-praktek-jurnalisme.html diakses pada Kamis, 23 Juni 2016 pukul 13.03 WIB
[9] [9] Ahmad Y. Samantho, Jurnalistik Islami: panduan praktis bagi para aktifis muslim, (Jakarta: Harakah, 2002), hal. 65-66.
[10] Mohammad Shoelhi, Propaganda dalam Komunikasi Internasional, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2002) hal 2
[11] Mohammad Shoelhi, Propaganda dalam Komunikasi Internasional, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2002) hal 5
[12] Mohammad Shoelhi, Propaganda dalam Komunikasi Internasional, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2002) hal 7
[13] Mohammad Shoelhi, Propaganda dalam Komunikasi Internasional, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2002) hal 7.

[14] A Abdullah, ‘Media Muslim: Sekarang dan Masa Depan’ Jurnal Komunikasi Audientia vol.1, 1993) hal 65-66.
[15] Hakim Syah, Peran Jurnalisme Islam di Tengah Hegemoni Pers Barat dalam Globalisasi Informasi, download.portalgaruda.org/article.php?article=144248&val=5625, diakses pada Kamis, 23 Juni 2016 pukul 13.52 WIB.
[16] A Abdullah, ‘Media Muslim: Sekarang dan Masa Depan’ Jurnal Komunikasi Audientia vol.1, 1993) hal 65-66
[17] Dedy Djamaluddin Malik, Hegemoni Budaya, (Yogyakarta: Bentang, 1997) hal 46.
[18] Hakim Syah, Peran Jurnalisme Islam di Tengah Hegemoni Pers Barat dalam Globalisasi Informasi, download.portalgaruda.org/article.php?article=144248&val=5625, diakses pada Kamis, 23 Juni 2016 pukul 13.52 WIB.


|

0 Comments

Posting Komentar

Copyright © 2009 ILADIENA ZULFA All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.