(: Welcome to Official Iladiena Zulfa Blog :)

0

PENDEKATAN ANTROPOLOGI TERHADAP AGAMA

Posted by zulfailadiena.blogspot.com on 00.00 in ,
Oleh: Tasman, M.Si.

Perhatian antropologi terhadap Religi dan Kepercayaan
Agama resmi yang diakui oleh Pancasila ada lima; Islam Protestan, Katholik Roma, Hindu Dharma, Budha, Keprcayaan. Namun tak dapat diabaikan juga dalam semua agama yang ada tentu ada sebagian yang tidak mengikuti dengan tepat ajaran yang resmi. Sebagian besar pemeluk Islam di Jawa tidak sepenuhnya menjalankan agamanya sesuai dengan syariat  agama Islam. Mereka secara umum dinakamakan “Islam abangan”, atau penganut “agama Jawi”, sementara penganut agama Islam yang asli disebut “Islam santri”. Ilmu yang mempelajari agama murni disebut ilmu agama. Sementara antropologi dan etnografi mempelajari dan mendeskripsikan praktik religinya.
Walaupun sejak awal disadari bahwa kajian tentang agama akan mengalami kesulitan karena meneliti sesuatu yang menyangkut kepercayaan (beliefs) yang ukuran kebenarannya terletak pada keyakinan
Evans-Pritchard, salah seorang pionir dalam tradisi antropologi sosial di Inggris, mengatakan bahwa dilema kajian tentang agama adalah bahwa pemahaman realitas agama tidak akan sepenuhnya dapat difahami kecuali oleh orang yang mengamalkan agama itu sendiri.
Kesulitan mempelajari agama dengan pendekatan budaya, dengan mempelajari wacana, pemahaman dan tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan ajaran agama, dirasakan juga oleh mereka yang beragama.
Kesulitan itu terjadi karena ketakutan untuk membicarakan masalah agama yang sakral dan bahkan mungkin tabu untuk dipelajari. Persoalan itu ditambah lagi dengan keyakinan bahwa agama adalah bukan hasil rekayasa intelektual manusia, tetapi berasal dari wahyu suci Tuhan. Sehingga realitas keagamaan diyakini sebagai sebuah "takdir sosial" yang tak perlu lagi dipahami.
Namun sesungguhnya harus disadari bahwa tidak dapat dielakkan agama tanpa pengaruh budaya-ulah pikir manusia-tidak akan dapat berkembang meluas ke seluruh manusia. Bukankah penyebaran agama sangat terkait dengan usaha manusia untuk menyebarkannya ke wilayah-wilayah lain. Dan bukankah pula usaha-usaha manusia, jika dalam Islam bisa dilihat peran para sahabat, menerjemahkan dan mengkonstruksi ajaran agama ke dalam suatu kerangka sistem yang dapat diikuti oleh manusia. Lahirnya ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fikih dan ilmu usul fikih adalah hasil konstruksi intelektual manusia dalam menerjemahkan ajaran agama sesuai dengan kebutuhan manusia di dalam lingkungan sosial dan budayanya. Keberagaman sosial budaya yang ada di dunia ini mengakibatkan pada kompleksitas agama.
Sebagai fenomena universal yang kompleks, keberadaan agama dalam masyarakat telah mendorong lahirnya banyak kajian tentang agama. Kajian-kajian tentang agama berkembang bukannya karena agama ternyata tak dapat dipisahkan dari realitas sosial, tetapi ternyata realitas keagamaan berperan besar dalam perubahan sosial dan transformasi sosial.
Perlu juga ditandaskan bahwa sikap mempertanyakan kembali makna agama dan relevansinya dengan kehidupan sosial juga fenomena universal yang ada dimana-mana. Kajian-kajian agama baik dalam masyarakat primitif sampai pada masyarakat yang modern menunjukkan bahwa keberadaan agama selalu mengandung dua sisi yang berbarengan, yaitu kecenderungan transendensi dan sekularisasi.
Secara garis besar kajian agama dalam antropologi dapat dikategorikan ke dalam empat kerangka teoritis;
1.      Intellectualist,
2.      Structuralist,
3.      Functionalist dan
4.      Symbolist.

Tradisi kajian agama dalam antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang intelektualisme yang mencoba untuk melihat definisi agama dalam setiap masyarakat dan kemudian melihat perkembangan (religious development) dalam satu masyarakat.
Termasuk dalam tradisi adalah misalnya E.B. Taylor yang berupaya untuk mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap adanya kekuatan supranatural. Walaupun definisi agama ini sangat minimalis, definis ini menunjukkan kecenderungan melakukan generalisasi realitas agama dari animisme sampai kepada agama monoteis..

E.B. Taylor : Teori Tentang Ruh.
E.B. Taylor berpendapat bahwa manusia percaya kepada suatu kekuatan yang dianggapnya lebih tinggi dari dirinya dan melakukan berbagai macam cara untuk mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan tadi. Oleh karena itu: Manusia sadar akan adanya konsep ruh; Manusia mengakui adanya berbagai gejala yang tak dapat dijelaskan dengan aka;, Keinginan manusia untuk mengahadapi berbagai kisis yang senantiansa dialami manusia dalam daur hidupna;, Kejadian-kejadian luar biasa yang dialami manusia di alam sekelilingnya;Adanya getaran (emosi) berupa rasa kesatuan yang timbul dalam jiwa manusia sebagai warga dari masyarakat;Manusia menerima suatu firman Tuha. Teori tentang ruh yang disebabkan oleh dua hal; perbedaan yang tampak anatar benda yang hidup dan yang mati; Pengalaman bermimpi.

MIRCEA ELIADE DAN MAX MULLER
Menurut Mircea Eliade perkembangan agama menujukkan adanya gejala seperti bandul jam yang selalu bergerak dari satu ujung ke ujung yang lain. Demikian juga agama berkembang dari kecenderungan anismisme menuju monoteisme dan akan kembali ke animisme. Tetapi, berdasar pada ajaran yang terdapat dalam kitab suci, Max Muller berpandangan bahwa agama bermula dari monotheisme kemudian berkembang menjadi agama-agama yang banyak itu.
J,G. Frazer: Teori Batas Akal.
Frazer berpendapat bahwa manusia memecahkan masalah-masalah hidupnya dengan akal dan sistem pengetahuannya, akan tetapi akal dan sistem pengetahuan mansia terbatas. Soal-soal hidup yang tak dapat dipecahkan dengan akal, dipecahkan dengan magic, atau ilmu gaib. Ilmu ghaib adalah segala sistem perbuatan dan sikap manusia untuk mencapai suatu maksud dengan menguasai dan menggunakan kekuatan-kekuatan hukum-hukum gaib yang ada di alam semesta. Sedangkan religi: segala sistem perbuatan untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyandarkan diri pada kehendak dan kekuasaan makhluk-makhluk halus (misalnya roh, dewa, dll.)

M. Crawley: Teori masa krisis dalam hidup manusia.
Crawley berpendapat bahwa selama hidupnya manusia mengalami masa krisis yang sangat ditakuti dalam hidupnya. Terutama ketika menghadapi bencana sakit, hamil, melahirkan dan maut, segala kepandaian, kekuasaan, dan harta benda yang dimilki tidak berdaya. Pada saat seperti ini manusia merasa perlu melakukan sesuatu untuk memperteguh imannya. Perbuatan-perbuatan inilah yang merupakan pangkal dari religi dan merupakan bentuk-bentuk tertua dari agama.

R.R. Marret : Teori Kekuatan Luar Biasa.
Marret berpandangan bahwa pangkal dari segala perilaku keagamaan ditimbulkan karena adanya perasaan tidak berdaya dalam menghadapi gejala-gejala luar biasa dalam kehidupan manusia.  Alam tempat gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa itu berasal oleh manusia dianggap sebagai tempat adanya kekuatanyang melebihi kekuatan manusia yang disebut kekuatan supernatural.

Teori Firman Tuhan:
Teori agama langit menganggap Agama turun dari titah Tuhan pada awal keberadaan manusia di bumi.

EMILE DURKHEIM: Strukturalis, Fungsionalis dan Simbolis
Ketiga teori, strukturalis, fungsionalis dan simbolis, sesungguhnya lahir dari Emile Durkheim. Buku Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life, telah mengilhami banyak orang dalam melihat agama. Lewat buku itu Durkheim ingin melihat agama dari bentuknya yang paling sederhana yang diimani oleh suku Aborigin di Asutralia sampai ke agama yang well-structured dan well-organised seperti yang dicerminkan dalam agama monoteis.

EMILE DURKHEIM
Durkheim menemukan bahwa aspek terpenting dalam pengertian agama adalah adanya distingsi antara yang sacred dan yang profan. Namun demikian ia tak setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa yang sacred itu selalu bersifat spiritual. Dalam agama sederhana suku Aborigin Australia ditemukan bahwa penyembahan kepada yang sacred ternyata diberikan kepada hal-hal yang profan semisal Kanguru.

Pendekatan Strukturalisme
Di samping kritik terhadap pendekatan intelektualis itu, Durkheim juga mengungkapkan bahwa masyarakat dikonseptualisasikan sebagai sebuah totalitas yang diikat oleh hubungan sosial. Dalam pengertian ini maka society (masyarakat) bagi Durkheim adalah "struktur dari ikatan sosial yang dikuatkan dengan konsensus moral." Pandangan ini yang mengilhami para antropolog untuk menggunakan pendekatan struktural dalam memahami agama dalam masyarakat. Claude Levi-Strauss adalah satu murid Durkheim yang terus mengembangkan pendekatan strukturalisme, utamanya untuk mencari jawaban hubungan antara individu dan masyarakat. Bagi Levi-Strauss agama baik dalam bentuk mitos, magic adalah model bagi kerangka bertindak bagi individu dalam masyarakat. Jadi pandangan sosial Durkheim dikembangkan oleh Levi-Strauss kepada tidak saja secara hubungan sosial tetapi juga dalam ideologi dan pikiran sebagai struktur sosial.

 FUNGSIONALISME
Sementara itu pandangan Durkheim tentang fungsi dalam masyarakat sangat berpengaruh dalam tradisi antropologi sosial di Inggris. Pandangan Durkheim yang mengasumsikan bahwa masyarakat selalu dalam keadaan equilibrium dan saling terikat satu dengan yang lain, telah mendorong para antropolog untuk melihat fungsi agama dalam masyarakat yang seimbang tersebut. Fungsi psikologi agama, sebagai penguat dari ikatan moral masyarakat dan fungsi sosial agama sebagai penguat solidaritas manusia menjadi dasar dari perkembangan teori fungsionalisme.
Branislaw Malinowski mengatakan bahwa fungsi agama dalam masyarakat adalah memberikan jawaban-jawaban terhadap permasalahan-permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan common sense-rasionalitas dan kemampuan menggunakan teknologi. Dalam setiap kali menyelesaikan persoalan-persoalannya, manusia menggunakan kemampuan rasionalitas dan penciptaan teknologi.
Ketika sebuah masyarakat traditional Suku Trobiand di daerah pesisir Papua Nugini menemukan bahwa ladangnya telah dirusak oleh babi hutan, maka dengan kemampuan rasionalitas dan penguasaan teknologinya masyarakat suku Trobiand membuat pagar agar babi tak dapat lagi masuk ke ladangnya. Namun ketika hendak berburu ikan di lautan, dimana gelombang lautan dan cuaca yang tidak dapat mereka kontrol dengan kemampuan rasionalitas dan teknologi, mereka menggunakan agama sebagai pemecahnya. Maka sebelum mereka berlayar, mereka melakukan ritual dengan sesaji sebagai sarana komunikasi dengan kekuatan spiritual untuk menyelesaikan masalah yang unpredictable.

SIMBOLISME
Teori simbolisme yang menjadi teori dominan pada dekade 70-an sebenarnya juga mengambil akarnya dari Durkheim, walaupun tidak secara eksplisit Durkheim membangun teori simbolisme. Pandangan Durkheim mengenai makna dan fungsi ritual dalam masyarakat sebagai suatu aktifitas untuk mengembalikan kesatuan masyarakat mengilhami para antropolog untuk menerapkan pandangan ritual sebagai simbol. Salah satu yang menggunakan teori tersebut adalah Victor Turner ketika ia melakukan kajian ritual (upacara keagamaan) di masyarakat Ndembu di Afrika. Turner melihat bahwa ritual adalah simbol yang dipakai oleh masyarakat Ndembu untuk menyampaikan konsep kebersamaan.

 Clifford Geertz: AGAMA
Pengertian Agama menurut Clifford Geertz:(1) Sebuah sistem simbol-simbol yang berlaku untuk (2) menetapkan suasana hati dan motivasi yang kuat, yang meresapi, dan yang tahan lama dalam diri manusia dengan (3) merumuskan konsep-konsep mengenai tatanan umum eksistensi dan (4) membungkus konsep-konsep ini dengan semacam pancaran faktualitas, sehingga (5) suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak realitas.



|

0 Comments

Posting Komentar

Copyright © 2009 ILADIENA ZULFA All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.