(: Welcome to Official Iladiena Zulfa Blog :)

0

Pemurnian Tasawuf : Akar dan Gerakan Sosial

Posted by zulfailadiena.blogspot.com on 03.19 in ,
Makalah ini diselesaikan untuk memenuhi nilai terstruktur mata kuliah Akhlak Tasawuf
Dosen Pembimbing : Drs. H. M. Sungaidi, MA.


 Oleh:
Dina Karomatunisa                            (1113051000161)
Iladiena Zulfa                                     (1113051000117)
Jasmine Nurfitri Yamandharlie         (1113051000134)
Putri Husnul Aprilia                           (1113051000132)

Jurnalistik 2B

Konsentrasi Jurnalistik Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun Akademik 2013 2014


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Fenomena Sufisme adalah sesuatu asing bagi kehidupan di masyarakat. Sufisme terkenal dengan sesuatu yang hanya berhubungan dengan Tuhan saja, tanpa mementingkan kehidupan dunia dengan keluarga dan masyarakat. Padahal, kita hidup di dunia pasti membutuhkan hubungan dengan sanak saudara. Kembali kepada istilah bahwa Manusia adalah “Zoom Politicon”, yaitu Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hiduo tanpa orang lain.
Paham sufi yang hanya menekankan kedekatan dengan Tuhan adalah tidakn benar. Karena, Sufisme yang sesungguhnya adalah Sufisme yang didasarkan pada akidah, syariah dan akhlak. Jadi, untuk menjadi seorang Sufi, hal yang lebih penting ditekankan adalah ilmu Fiqh. Karena, Fiqh dan Tasawuf memiliki keterkaitan yang erat.
Pemurnian tasawuf yang dibahas dalam makalah ini mengenai pembersihan dari pertentangan para Fuqaha yang berlandaskan lahiriah dan Sufi yang berlandaskan batiniah. Seiring berkembangnya zaman terjadilah Reformasi Tasawuf, yaitu sesuatu yang ada guna meluruskan paradigm tasawuf bahwa sufisme bukan berarti membenci dunia, membenci harta, dan membenci kemewahan.
Perlahan, Neo Sufisme berkembang. Hal ini ditandai dengan adanya Bank Syari’ah yang muncul dari Barat. Hal ini bermaksud untuk menghubungkan Ekonomi, Tasawuf dan Fiqh bahwa ketiganya memiliki relasi yang dapat menjadikan Umat Islam menjadi Umat yang terhormat.

B.     Rumusan Masalah
·         Apakah para sufi termasuk golongan siddiqin?
·         Apa saja ciri umum gerakan Neosufisme?
·         Bagaimana pandangan Ibnu Taimiyah tentang tasawuf?
·         Siapa sumber inspirasi gerakan neosufisme?


C.     Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui akar pemurnian tasawuf.
2.      Mengetahui pemurnian tasawuf di zaman modern
3.      Menumbuhkan tenggang rasa dalam diri pelaku hubungan antar kelompok.
4.      Mempelajari pandangan neosufisme

D.    Metode Penelitian
Pada pembuatan makalah ini, metode yang kami gunakan dalam mengumpulkan data adalah dengan merangkum dari buku pemurnian tasawuf.

E.     Sistematika Penulisan
BAB I. PENDAHULUAN
Pada bagian ini berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II. PEMBAHASAN
Berisi mengenai identifikasi pemurnian tasawuf.
BAB III. PENUTUP
Berisi tentang kesimpulan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
Berisi tentang sumber penulisan makalah


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Akar Pemurnian Tasawuf
Akar gerakan pemurnian Tasawuf tertanam kokoh ajaran islam yang terdiri atas akidah syariah dan akhlak. Ketiganya bisa dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan seorang muslim. Gerakan pemurnian tasawuf dimulai sejak ada indikasi pemisahan pengamalan Tasawuf dari pengamalan syariat. Kaum muslimin yang hanya mengamalkan tasawuf disebut dengan ahli kebatinan ( Ahlul Bathin) sedangkan kaum muslimin yang hanya mengamalkan syariat atau fiqih disebut Ahlilah lahiriyah (Ahluz-zhahir).  Pertentangan diantara orientasi batini dan orientasi lahiri atau orientasi tasawuf dan orientasi fiqih dalam pengalaman islam ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Embrio kehidupan spriritual yang pernah dilakukan oleh dua orang sahabat Nabi SAW; “Abdullah bin ‘Amr bin AL- ‘Ash” dan “ Utsman bin Madh’ un”, berkembang menjadi budaya spiritual mandiri dalam bingkai Tasawuf. Kecenderungan spiritual ini secara perlahan, tetapi pasti mulai meninggalkan pola-pola legal formal syariat. Perpisahan diantara kedua orientasi keagamaan ini semakin lebar. Keduanya, menurut Nurcholish Madjid, seakan berlomba mencari legitimasi dari Al- Qur’an dan Sunnah Nabi. Orientasi keagamaan eksoteris (lahiriah) yang bertumpu pada prinsip legal formal hokum mengklaim sebagai paham keagamaan yang berada pada jalan kebenaran; demikian juga orientasi keagamaan esoteris (batiniah) yang bertumpu pada pengalaman dan kesadaran pribadi juga mengklaim diri sebagai pengetahuan keagamaan yang membawa kepada jalan kebahagiaan. [1]
Ibnu Taimiyah melukiskan antara orientasi keagamaan eksoteris pada fuqaha’ dengan orientasi keagamaan eksoteris para sufi menyerupai pertentangan antara kaum Yahudi dan Nasrani sebagaimana tergambar pada ayat Al-Qur’an yang berarti :

“ Kaum Yahudi berkata, orang-orang Kristen itu tidak ada apa-apanya; dan kaum Kristen  berkata, orang-orang Yahudi itu tidak ada apa-apanya,” (Qs. Al-Baqarah [2]: 113).
Masih menurut Ibnu Taimiyah, pertentangan antara kaum sufi dengan para fuqaha’ saling menafikan yang satu terhadap yang lain[2]. Polemik dan kontroversi  diantara keduanya tidak dapat dihindari. Kaum sufi menolak fenomena keagamaan para fuqaha’ yang menurut mereka telah menghabiskan usia untuk mempelajari ilmu lahiriah (‘ilmuzh-zhahir), sedangkan kaum sufi  mengklaim bahwa mereka telah memperhatikan subtansi amaliah ( ruhul’- amal) dengan mendalami hakikat pengetahuan tentang Tuhan ( haqa’iqul – ma’rifah) dan telah sampai kepada Allah melalui perjuangan ruhani (al-mujahadah) dan keiklasan beribadah dengan konsisten dan berkesinambungan (istiqomah-mudawamah). Para sufi pun mengaku telah berhasil mendapatkan ilmu secara langsung dari Allah. Mereka menuduh para fuqaha’ telah mengambil ilmu yang mati  dari orang-orang yang mati, sedangkan kaum sufi telah mengambil ilmu dari Yang Maha Hidup dan tiada pernah mati. [3]

B.     Memadukan Fiqih dengan Tasawuf
Gerakan pemurnian Tasawuf yang di rintis oleh para ulama salaf dimulai dengan gerakan memadukan fiqih dengan tasawuf yang diawali oleh Imam Malik bin Anas (w. 179 H ). Beliau seorang ulama fiqih (faqih), Mujtahid dan Imam Madzhab, seorang yang berpengetahuan luas ( ‘alim ) dan termasuk salah seorang sufi atau pengamal Tasawuf. Imam malik pernah berujar, “ man tashawwafa walam yatafaqqah faqadh tazandaqa (siapa yang mengamalkan tasawuf tanpa dilandasi pemahaman fiqih, maka sungguh ia telah menyimpang).” Beliau memandang bahwa ilmu itu bukan karna menguasai banyak sumber rujukan atau ( ar riwayah ), tetapi berdasarkan nur yang disimpan Allah dalam kalbu seseorang. [4] Pandangan Imam Malik bin Anas ini memadukan dan  pengetahuan aqal (‘ilmul-‘aqli) dan pengetahuan kalbu ( ‘ilmul-qalbi ) yang merupakan landasan tasawuf suni.
Berdasarkan pemikiran diatas, Imam Malik berhasil memperkuat ketokohan dirinya dalam bidang fiqih dan tasawuf dengan melahirkan dua langkah operasional. Pertama, menekankan pentingnya mempelajari fiqih sebelum mempelajari tasawuf agar tidak menjadi Zindiq (kelompok yang menyimpang dalam agama ). Kedua, keyakinan beliau bahwa pengetahuan yang sejatinya atau al-hikmah  adalah nur  yang ditiupkan Allah kedalam kalbu. Menurut Imam Malik, al-hikmah adalah al-fiqih  atau pemahaman yang mendalam tentang agama Allah yang diperoleh melalu cara dia memasuki al - hikmah  kedalam sanubari.[5] Dapat pula ditambahkan bahwa al- hikmah adalah menanti Allah, megikuti bimbingan-Nya, memahami agama-Nya dan memiliki pengetahuan tentang agama-Nya. [6]
Perjuangan Imam Malik Bin Anas untuk memadukan Fiqih dengan Tasawuf diterusan oleh beberapa ulama terkemuka seperti Abu ‘Abdullah Al-Haris bin Asad Al-Muhasibi ( W. 243 H), seperti Abu Bakar Muhammad Al-kalabadzi (W.380 H), Abu Thalib Al-Makki ( W. 386 H), dan Abu Al- Kasim ‘ Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik Al- Qusyairi ( W. 465 H ), dan mencapai puncaknya pada masa Abu Hamid Al-Ghazali ( W. 505 H). Beliau berhasil memadukan kedua corak orientasi keberagaman lahiri dan batini itu dalam suati symphony indah yang dikenal sebagai Tasawuf Sunni, yakni pengamalan tasawuf berdasarkan bimbingan Al-Quran dan Sunnah Nabi. [7]
Sejak masa Al- Ghazali dunia islam mengenal dunia Tasawuf sunni yang membedakannya dari Tasawuf bid’ah, yakni tasawuf yang keluar dari koridor Al-Qur’an dan Sunnah.  Adapun yang dimaksud dengan Tasawuf sunni adalah mengamalkan Tasawuf dengan mengikuti sunnah Nabi. Dalam pengamalan tasawuf sunni ini, perkataan, perbuatan, dan ketetapan atau persetejuan Nabi SAW. Tentang perilaku sahabat senantiasa di jadikan acuan.
Dengan demikian, tasawuf sunni secara singkat dapat dikatakan sebagai perjuangan untuk bertasawuf dengan menjadikan sunnah Nabi Muhammad SAW, sebagai titik pusat perhatian. Keseluruhan ahlak beliau dijadikan sumber inspirasi dan keteladanan; bahkan kepribadian beliau yang agung diyakini sebagai personifikasi yang membumi dari Rosulullah Saw. Sebagai grand sufi yang berada pada puncak piramida spiritual hal ini sebagaimana dikatakan Al-Hujwiri, “ jika pendakian spiritual para kekasih Allah ( aulia’ullah ) merupakan kepala yang berada pada bagian paling atas dari anatomi manusia, maka pencapaian kualitas rohani mereka itu berada pada telapak kaki grand sufi, Rosulullah Saw.” Sementara itu, Al-Hakim At- Tirmidzi menyatakan, “ Rosulullah Saw. Adalah seorang yang sudah keluar rumah dalam keadaan siap sempurna, kemudian menempuh perjalanan spiritual hingga berhasil berhadap-hadapan langsung dengan Allah dalam jarak yang sangat dekat. Berdialog secara personal tanpa pendampingan malaikat Jibril; memperoleh pembekalan dan oleh-oleh yang mengagumkan para pencari kearifan; bahkan sudah kembali ketengah-tengah umat dengan menjadikan oleh-oleh tersebut sebagai media pendakian spiritual bagi orang-orang beriman, dengan menyatakan bahwa sholat adalah mi’raj kaum yang beriman. Sementara itu, para kekasih (aulia’) Allah adalah pasukan mendaki spiritual yang masih berkemas-kemas didalam rumah.”

C.    Ibnu Taimiyah Sumber Inspirasi Gerakan Neo Sufisme
Ibnu Taimiyah dilahirkan di Harran, sebuah kota pusat studi filsafat dan basis kaum shabi’un (pemeluk agama shabi’at) di sebelah utara Irak, [8] pada hari Senin 10 Rabi’ Al-Awwal 661 H./22 Januari 1263M. [9] dan wafat di Damaskus pada malam Senin, 20 Dzul Qo’dah 728 H atau 26 September 1328 M. [10] Ia berasal dari keluarga besar Taimiyah, [11] sebuah keluarga terpelajar yang dihormati dan disegani oleh masyarakat luas pada zamannya.  Ayahnya Shihabuddin Abdullah Halim bin Abdussalam (w.682 H atau 1284 M) seorang ulama yang mempunyai kedudukan terhormat dalam mazhab Hambali. Ia seorang khotib dan Imam Besar di masjid Agung Damaskus, sekaligus Mu’alim (guru) Tafsir dan Hadits, serta direktur Madrasah Durul Hadits As-sukkariyyah, sebuah lembagapendidikan islam mazhab Hambali yang terkenal pada waktu itu. Di lembaga pendidikan inilah Ibnu Taimiyah dididik menjadi ulama besar.[12]
      Kakeknya, Syaikh Majduddin Abu Al-Barakat Abdussalam bin Abdullah (w.652 H atau 1233 M) seorang ahli Tafsir, hadits, fiqih, ushul fiqih (kaidah-kaidah pemahaman fiqih), Ilmu Nahwu (dramatikal bahasa arab), dan seorang pengarang terkenal.[13] Syaikh Majduddin ini oleh Asy-Syaukani dinilai sebagai mujtahid mutlak.[14] Ia mengajar ilmu hadits di Irak dan Syiria. Diantara karyanya adalah kitab Al-Muswaddah fi Ushulil-FIqh dan Muntaqa-ul Akhbar, kumpulan hadits yang dikomentari Asy-Syaukani dalam Nailul-Authar.[15]
      Ibnu Taimiyah, seperti kebiasaan yang berlaku pada zaman itu, mulai mempelajari agama dengan belajar membaca dan menghafal Al-QUr’an kemudian mempelajari kitab-kitab hadits.   Ia mempelajari kutubus-sittah, Mu jam ’ath-Thabrani, dan membaca musnad Imam Ahmad secara berulang-ulang.[16] Pengetahuan Ibnu Taimiyah dalam bidang hadits diakui oleh banyak ulama, sehingga pernah ada yang mengatakan secara berlebihan, “Setiap hadits yang tidak diketahui oleh Ibnu Taimiyah bukanlah hadits.”[17]  Ia belajar  fiqh dan ushul fiqh kepada ayahnya dan belajar tata bahasa arab kepada Ibnu Al-Qawwi, penulis kitab ‘Iqdul-fara’id.[18] Pelajaran yang paling diminati oleh Ibnu Taimiyah adalah Tafsir Al-Qur’an. Ia mendalami bidang studi ini dengan sangat tekun sebagaimana terlihat dalam penuturannya di bawah ini: [19]
Untuk memahami makna suatu ayat terkadang aku menelaah 100 kitab tafsir, kemudian memohon kepada Allah agar memberikan pemahaman kepadaku. Akupun berdo’a, “Wahai Tuhan yang telah memberikan pengetahuan kepada Nabi Adam dan Nabi Ibrahim, berikanlah pengetahuan kepadaku.” Terkadang, akupun pergi ke sebuah masjid yang sepia atau tempat lainnya, kemudian aku membenamkan wajah ke dalam tanah sambil berdo’a, “Wahai Tuhan yang telah memberikan pemahaman kepada Nabi Ibrahim, berikanlah pemahaman kepadaku.”[20]
      Selain di Damaskus, Ibnu Taimiyah pernah menuntut Ilmu di Baghdad selama 6 tahun.[21] Diantara guru-gurunya yang terkenal adalah Syamsuddin, Abdurrahman bin Muhammad bin Ahmad AL-Maqdisi (w.682 H.) , seorang faqih dan hakim agung pertama dari kalangan mazhab Hambali di Syiria, setelah Sultan Baybars (1260-1277 M.) mereformasi bidang peradilan.[22] Muhammad bin Abdul Qawwi bin Badran Al-Maqdisi Al-Mardawi (w. 699 H) , seorang ahli hadits, fiqh, tata bahasa arab dan mufthi (pemberi fatwa) serta pengarang terpandang pada zaman itu. [23]Al-Manja’ bin Usman bin As’ad Al-Tanawukki (w. 695 H) dan Muhammad bin Ismail bin Abi Sa’d AL Syaibani (w. 704 H) yang pertama seorang ahli hadits, fiqh, tafsir, dan tata bahasa arab ; sedangkan yang kedua adalah seorang ahli hadits, tata bahasa, sekaligus sastrawan, sejarawan, dan kebudayawan.[24]
      Ibnu Taimiyah pun pernah berburu kepada seorang ahli fiqh perempuan yang terkenal pengetahuan dan keshalehannya, yakni Zainab binti Makki Al-harrani (w. 688 H/1289 M), [25] kepada seorang pakar ushul fiqh mazhab Syafi’I, Syamsuddin Al-Ishfahani Asy-Syafi’I (w. 749 H),[26] dan kepada seorang ahli fiqh dan hadits, Abdurrahim bin Muhammad AL-Baghdadi (w.685 H).[27]
      Ibnu Taimiyah pun belajar berbagai kitab Tasawuf seperti kitab Ar-Risalah, AL-Qusyairiyyah karangan imam Al-Qusyairi (w.437 H/1045 M), kitab Quttul-Qulub fi Mu’amalatil-Mahbub karangan Abu Thalib Al-Makki (w. 386 H/996 M), Ihya Ulumid-din karangan Imam AL-Ghazali (w.505 H/1111 M), kitab Awariful Ma’arif karangan Syaikh As-Suhrawardi (w.632 H/ 1236 M) seperti tercermin dalam berbagai komentar dan kritik pada tulisannya. Ath-Thablawi, seorang cendekiawan muslim dari Mesir, bahkan menilai bahwa Ibnu Taimiyah termasuk seorang Sufi dan ulama yang zuhud. Ia mempunyai perhatian yang besar terhadap karya-karya para Sufi serta menulis beberapa karangan dalam bidang Tasawuf, seperti At-Tuhfah Al-Iraqiyyah fil Amalil-Qalbiyyah, Qaidatul-Mahabbah dan kitabul Istiqomah.[28] Dengan demikian, Ibnu Taimiyah, menurut Ath-Thablawi, dapat dikelompokan ke dalam para guru sufi (Masyayikh Ash-Sufiyyah). Namun, ketokohan Ibnu Taimiyah dalam bidang Tasawuf, banyakk dilupakan orang, baik secara sengaja, maupun tidak.[29]
      Ketika ayahnya wafat pada tahun 682 H/1284 M., Ibnu Taimiyah yang baru berusia 21 tahun menggantikan kedudukan ayahnya menjadi direktur Madrasah Darul-Hadits As-Sukkariyah. Setahun kemudian,  pada 17 April 1285, Ia diangkat menjadi guru besar Universitas Masjid Agung Al-Ummawi di Damaskus dalam mata kuliah Tafsir AL-Qur’an yang sebelumnya dijabat oleh ayahandanya. [30]


D.    Pandangan Ibnu Taimiyah tentang Tasawuf
Tasawuf dalam pandangan Ibnu Taimiyah, merupakan hasil ijtihad dalam menjalankan agama dengan sebenar-benarnya, bahkan merupakan hasil ijtihad yang tulus untuk taat kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya, tetapi tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur bid’ah (sesuatu yang menyimpang dalam ajaran Al-Qur’an dan Sunnah) di dalam tasawuf.[31] Ibnu Taimiyah tidak menolak tasawuf, tetapi juga tidak memandangnya sebagai satu-satunya jalan atau cara yang terbaik guna menjalankan agama secara sungguh-sungguh. Ibnu Taimiyah lebih jauh menjelaskan :
Manusia berbeda-beda pendapatnya mengenai jalan yang ditempuh oleh mereka (kaum Sufi). Satu golongan mencela kaum sufi dan tasawuf. mereka berpendapat bahwa kaum sufi adalah golongan pembuat bid’ah dan mereka telah keluar dari As-Sunnah. Golongan lain berlebih-lebihan dalam memuji mereka (kaum sufi). Mereka menganggap bahwa kaum sufi adalah manusia yang paling utama dan manusia yang paling sempurna setelah para Nabi. Kedua pandangan ini tercela. Pandangan yag benar bahwa mereka adalah orang-orang yang  berijtihad dalam mentaati perintah Allah sebagaimana golongan yang lain (ulama fiqh) berijtihad dalam mentaati perintah Allah (secara lahiri). Diantara mereka yang berbeda pandangan itu ada yang bergegas dalam kebaikan sesuai dengan ijtihadnya. Ada juga yang bersikap pertengahan yang termasuk kelompok kanan. Kedua belah pihak berijtihad, maka diantara keduanya ada yang keliru di dalam ijtihadnya da nada yang berbuat dosa. Maka taubat merekapun ada yang diterima Allah da nada juga yang tidak diterima[32] .[33]
      Ibnu Taimiyah memandang bahwa para sufi termasuk golongan Siddiqin, yakni golongan yang sungguh-sungguh menaati perintah Allah dan Rasul-Nya sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an :

“Dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang diberi nikmat kepada Allah; yaitu para Nabi,  para Siddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang yang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.“ (Q.S An-Nisa: 69).
      Ibnu Taimiyah menempuh jalan tengah dalam memandang tasawuf dan kaum sufi. Dalam pandangannya, kaum sufi bukanlah satu-satunya golongan yang termasuk Siddiqin. Para ahli fiqh dan pejabat pemerintah pun bias menjadi Siddiqin, apabila mereka menjalankan agama dengan sebenar-benarnya sesuai dengan keahlian dan bidang tugas mereka masing-masing. Manusia dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan menempuh cara yang berbeda-beda sesuai dengan bidang, keahlian, dan panggilan jiwanya. Merka dapat mendekatkan diri dengan menempuh cara zuhud (asketis) dan mencurahkan diri untuk beribadah; sebagaimana merekapun dapat mendekatkan diri dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan keilmuan dan tugas-tugas pemerintahan. Ibnu Taimiyah lebih jauh mengatakan:  
Seorang sufi hakikatnya adalah salah satu dari golongan Shiddiqin, yaitu Shidiq dalam menempuh kehidupan  zuhud dan ibadah sesuai dengan hasil ijtihad mereka. Karena itu, mereka termasuk golongan Shiddiqin dilihat  dari segi pengamalan jalan (tasawuf) ini: sebagaimana adanya golongan siddiqin dari kalangan ulama dan umara (pejabat pemerintahan). Golonga shiddiqin dari kalangan sufi, ulama dan pejabat oemerintahan ini lebih khusus sifatnya dari shiddiqin mutlak, dan tingkatannya di bawah tingkatan shiddiqin yang sempurna dari kalangan para sahabat, tabi’in dan tabi’ it-tabi ‘in[34] . [35]

Selain itu, Ibnu Taimiyah pun menjelaskan :
Apabila dikatakan bahwa para zahid (orang0orang yang zuhud) dan para abid (orang-orang yang rajin beribadah) dari Bashrah adalah Shiddiqin; maka demikian pula dapat dikatakan bahwa para fuqaha dari Kufah adalah shiddiqin. Masing-masing menempuh jalan dalam mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya sesuai dengan ijtihadnya. Ada kemungkinan para sufi dan fuqaha itu termasuk shiddiqin pada zaman mereka, bahkan termasuk shiddiqin yang paling sempurna pada zamannya. Namun, shiddiqin pada masa awal jauh lebih sempurna dari mereka. Jadi, golongan shiddiqin itu bertingkat-tingkat dan bermacam-macam. Pada masing-masing mereka terdapat ahwal dan ibadah yang mereka lakukan secara sungguh-sungguh, sempurna, dan dengan memusatkan perhatian kepadanya. Sungguhpun demikian, dapat saja orang lain yang bukan sufi dan bukan fuqaha lebih sempurna dan lebih utama ahwal dan ibadahnya dari merka [36]. [37]
      Tasawuf dan fikih dalam pandangan Ibnu Taimiyah merupakan hasil ijtihad para ulama. Ketika terjadi pertentangan antara kaum fikih yang menekankan orientasi keagamaan eksoteris (lahiri) dengan kaum sufi yang menekankan orientasi keagamaan esoteric (batini), Ibnu Taimiyah dapat berdiri diantara keduanya secara adil. Pertentangan antara orientasi eksoteris kaum fikih dengan orientasi esoteric kaum sufi, menurut Ibnu Taimiyah, menyerupai pertentangan kaum Yahudi dan Nasrani sebagaimana tergambar pada ayat Al-Qur’an berikut:

“Kaum Yahudi berkata: ‘Orang-orang Kristen itu tidak ada apa-apanya’ Dan orang Kristen juga berkata: ‘Orang-orang yahudi itu tidak ada apa-apanya’. Padahal mereka [sama-sama] membaca Kitab Suci … “ (QS. Al-Baqarah (2): 113)
      Demikian pula, menurutnya, pertentangan antara kaum sufi dengan para fuqaha. Polemik dan kontroversi diantara keduanya tidak dapat dihindari. Kaum sufi menolak fenomena keagamaan fuqaha[38] yang menghabiskan usia untuk mempelajari ‘ilmu-zhahir (ilmu lahiriah) dan menghafal buku-buku fikih; sementara kaum Sufi menyatakan bahwa mereka telah memperhatikan ruhul-amal (jiwa amaliah) dengan mendalami hakikat pengetahuan tentang Tuhan (haqa ‘iqul-ma’rifah) dan telah sampai kepada-Nya dengan perjuangan (al-mujahadah) dan keikhlasan daam beribadah, serta merasa telah berhasil mendapatkan ilmu secara langsug dari Allah. Merka menuduh para fuqaha telah mengambil ilmu yang mati dari orang-orang yang mati; sedangkan kaum sufi telah mengambil Ilmu dari yang Maha Hidup yang tidak pernah mati. [39]
      Usaha untuk mengintegrasikan tasawuf dan fikih telah dirintis oleh Abu Al-Qasim Al-Qusyairi (w. 465 H. 1086 M.) Kemudian dikembangkan lebih matang oleh Abu Hamid Al-Ghazali (w.505 H./1111 M.) sehingga terpadulah corak orientasi keberagamaan lahiri dan batini itu dalam suatu simponi yang indah sebagaimana terlibat dalam kitabnya yang terkenal Ihya ‘Ulumid-Din. Corak tasawuf ini kemudian dikenal sebagai tasawuf sunni, yakni tasawuf yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. [40]
      Dalam pada itu, Ibnu Taimiyah menggambarkan pertentangan antara kaum sufi dengan fuqaha itu dengan imbang dan memberikan penilaian secara objektif. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah mengatakan:

“Anda mendapati bahwa banyak kaum fikih, jika melihat kaum sufi dan orang-orang yang terus menerus beribadah, akan memandang mereka tidak ada apa-apanya, dan tidak merka perhitungkan kecuali sebagai orang-orang yang bodoh dan sesat, sedangkan mereka tidak berpegang sedikitpun kepada ilmu dan kebenaran. Dan Anda juga akan mendapati banyak kaum sufi serta orang-orang yang menjalani kehidupan asketis tidak menganggap apa-apa kepada syari’at dan ilm (hukum); bahkan mereka menganggap bahwa orang yangberpegang kepada syari’at dan ilmu (hukum) itu terputus dari Allah. Para penganutnya tidak memiliki apa-apa yang bermanfaat di sisi Allah.” [41]    

      Ibnu Taimiya tidak menyalahkan salah satu daari keduanya. Juga tidak merendahkan kaum sufi, sekalipun ia sebagai penganut mazhab hambali, sangat berpegang kepada segi-segi eksoteris agama islam. Ibnu Taimiyah ingin mengembalikan orientasi keagamaan pada teladan Nabi Muhammad Saw. Ia memaparkan pandangannya dengan menempuh jalan tengah yang tegas. Ia berpendapat, “Yang benar adalah apapun yang berdasarkan Kitab dan Sunnah pada kedua belah pihak adalah benar. Dan apapun yang bertentangan dengan Kitab dan Sunnah pada kedua belah pihak adalah batil.”[42]
      Pendapat bahwa tasawuf merupakan hasil ijtihad, tidak hanya datang dari Ibnu Taimiyah, terapi juga berasal dari kalangan sufi sendiri. Abu Nashr ‘Abdullah bin ‘Ali bin Muhammad bin Yahya As-Sarraj (w.378 H/988 M.) mengakui adanya segi-segi dirayah (penalaran) pada ilmu batin, di samping segi-segi riwayah yang berasl dari Al-Qur’an dan Sunnah. [43]Adanya segi dirayah pada ilmu batin, menurut hemat penulis, merupakan ungkapan lain untuk menyatakan adanya faktor ijtihad dalam tasawuf.
      Ibnu Taimiyah tidak hanya mengembangkan jalan tengah dalam memandang tasawuf sbagai kegiatan ijtihad, tetapi juga telah menempatkan tasawuf dalam struktur ajaran islam secara proporsional. Dalam pandangannya, amaliah kesufian itu merupakan pangamalan ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah. Ia menyebut amaliah kesufian itu dengan istilah a’malul-qulub (pekerjaan-pekerjaan hati) atau al-a’mal al-bathinah (pekerjaan-pekerjaan batin)[44], sedangkan para sufi menamakannya al-maqamat dan al-ahwa.
      Pekerjaan-pekerjaan hati seperti ini mencintai Allah dan Rasul-Nya (mahabbatullah wa rasulu), tawakkal kepada Allah, ikhlas dalam beragama kepada-Nya, bersyukur (asy-syukru) kepada-Nya, bersabar (ash-shabru) dalam menjalankan hukum Allah khawatir atas murka Allah (al-khauf); penuh harap (ar-raja’) atas rahmat-Nya, semua itu merupakan prinsip keimanan (ushulul-iman) dan dasar-dasar agama (qawa dud-din) yang diperintahkan Allah.[45] Menurutnya, a’malul qulub yang oleh sebagian kaum sufi dinamakan ahwal da maqamat atau manazilus-sa ‘irin ilallah (tahapan mereka yang kembali kepada Allah) atau dinamakan pula maqamatul-‘arifin, merupakan persoalan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya sebagai manifestasi keimanan yang wajib diusahakan.[46]         

E.     Gerakan Neo-Sufisme
      Gerakan pemurnian tasawuf di zaman modern dikenal dengan neo-sufisme atau tasawuf baru. Neo-sufisme secara bahasa berarti konsep, sikap, dan perilaku pengamal tasawuf kotemporer. Neo-sufisme adalah corak tasawuf yang bersifat tajdid, pembaharuan konsep, cara pandang, dan pengamalan tasawuf dari segala unsure bid’ah, khurafat dan takhayul. Neo-sufisme juga berwatak  rformasi atau pemurnian dari unsure-unsur luar Islam. Tujuan neo-sufisme memurnikan tasawuf konsep dan amaliyah agar sejalan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Jadi, yang dimaksud dengan neo-sufisme atau tasawuf baru adalah tasawuf yang sejalan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Dinamakan neo-sufisme atau tasawuf baru karena gerakan ini muncul di zaman modern yang sesungguhnya telah dirintis sejak para ulama salaf, yakni Imam Malik bin Anas.
      Menurut Nurcholis Madjid, neo-sufisme merupakan sebuah esoterisisme atau penghayatan keagamaan batini yang menghendaki hidup aktif dan terlibat dalam masalah-masalah kemasyarakatan. Sesekali menyingkiran diri (‘uzlah ) mungkin ada baiknya, tetapi hal itu dilakukan untuk menyegarkan kembali wawasan dan meluruskan pandangan yang kemudian dijadikan titik tolak untuk pelibatan diri dalam aktivitas segar lebih lanjut. Sementara itu, Buya Hamka meyebut tasawuf yang senada dengan pandangan neo-sufisme itu dengan istilah tasawuf modern. Dengan diawali penolakan terhadap konsep zuhud yang membenci dunia, Hamka menjelaskan “ kita namai tasawuf menurut maksud aslinya, sebagaimana dikatakan Junaid Al-Baghdadi, yaitu keluar dari budi pekerti yang tercela dan masuk kepada budi pekerti yang terpuji. Dengan kata modern, kita tegakan kembali maksud semula dari tasawuf, yaitu membersikan jiwa, mendidik, dan mempertinggi derajat budi, menekan segala kelobaan dan karakusan, dan memerangi syahwat yang terlebih dari keperluan untuk kesentosaan diri.”

F.     Ciri Umum Gerakan Neo-sufisme
Secara singkat Neo-sufisme memiliki cirri-ciri umum sebagai berikut:
·         Tasawuf dipahami sebagai kekuatan ruhani islam yang membentuk pola fikir, pola sikap, dan etos amal saleh kaum Muslimin dengan lima kualitas kerja, yaitu bekerja iklas, bekerja cerdas, bekerja keras, bekerja tuntas, dan bekerja berkualitas.
·         Mengamalkan tasawuf  dipahami dan dilakukan sebagai usaha mengembangkan kepribadian Muslim, yaitu membentuk pribadi yang memiliki keyakinan atau akidah yang lurus, memiliki jiwa yang bersih, memiliki budaya amal yang iklas, dan memiliki sifat peduli terhadap problematika social yang dihadapi Islam dan kaum Muslimin danlam konteks kehidupan modern.
·         Menempatkan amaliah dzikir, wirid, dan ‘ulzah, yakni keputusan untuk menarik diri dari kehidupan social dengan melakukan khalwat atau menyepi di tempat yang sunyi untuk sementara waktu guna beribadah, berdzikir, melakukan wirid dan memperbanyak doa kepada Allah, serta melakukan renungan (muroqabah ) dan evaluasi diri secara proposional. Ketiganya sewaktu-waktu diperlukan guna memperkuan ruhani, menguatkan orientasi hidup dan kehidupan yang seimbang, serta memperkuat tanggung jawab social. Dzikir dan wirid diperlukan gina menyucikan jiwa, mendekatkan diri kepada Allah, dan melatih emosi agar dapat merasakan kehadiran Allah dalam kehidupan ini. Namun, buah dari dzikir itu diorientasikan guna menumbuhkan integritas moral dan tanggung jawab social.

G.    Neo-Sufisme Fenomena Islam Modern
Buya Hamka menyebut Neo-Sufisme atau tasawuf baru dengan istilah modern.[47] Salah satu fenomena paling menonjol dalam kehidupan dan perkembangan tasawuf dan tarekat dimasa modern adalah semakin meningkatnya pertumbuhan Neo-sufisme. Menurut para pengamat tasawuf, seperti O’Fahey dan Beernd Radtke, dua sarjana Eropa ahli tasawuf, Neo-sufisme merupakan gejala abad ke-19 dan abad ke-20.[48] Neo-sufisme sesungguhnya sudah muncul jauh sebelum abad ke-19 dan abad ke-20. Neo-sufisme muncul dari dinamika  internal umat islam yang menyadari perlunya melakukan harmonisasi antara fiqih dan tasawuf dalam landasan aqidah yang kokoh. Akar dan asal gerakan Neo-sufisme bisa dilacak pada pemikiran ulama klasik seperti terlihat pada corak tasawuf Junaid AL-Baghdadi, Al-Muhasibi, Al-Kusyairi dan Al-Ghazali. Namun, corak tasawuf Ibnu Taimiyah dan Ibnu qoyim Al-Jauziyah yang bermadzhab Hambali, sebagaiman dijelskan diatas, sangat mewarnai gerakan Neo-sufisme.
      Istilah Neo-sufisme pertama kali diperkenalkan oleh Fazlur Rahman (1919-1988), guru besar pemikiran islam pada Universitas Chicago, Amerika Serikat. Rahman menggunakan istilah Neo-sufisme untuk melukiskan tendensi terjadinya semacam revormasi tasawuf yang memunculkan apa yang disebutnya revormed Sufism ( tasawuf yang telah diperbaharui ).[49] Spirit yang menjiwai Neo-sufisme adalah seorang tasawuf yang bersifat pembaharuan ( tajdid), pemurnian dan revormasi dari unsure-unsur bid’ah yang berasal dari luar islam. Tujuan Neo-sufisme adalah memurnikan tasawuf, baik pada tataran konsep maupun amaliyah agar tasawuf menjadi bagian dari ajaran islam dan sejalan dengan al-qur’an dan sunah Nabi Saw.[50]
      Dalam pandangan Neo-sufisme, pertama, tasawuf dipahami sebagai kekuatan rohani islam yang membentuk pola fikir, pola sikap, dan etos amal soleh kaum muslimin. Kedua, bertasawuf berarti mengembangkan kepribadian muslim. Pandangan Neo-sufisme yang menghubungkan tasawuf dengan pengembangan kepribadian muslim sejalan dengan pandangan Hasan Al-Bahri ( w. 110 H / 722 M ) yang berpendapat bahwa orang yang bertasawuf adalah orang beriman yang :
1.      Berhasil melakukan sholat dengan khusyuk’;
2.      Senatiasa melakukan sholat berjamaah awal waktu.
3.      Bertuturkata dengan baik, indah, dan sejuk hingga menjadi penawar qalbu.
4.      Ketika diam ia berfikir.
5.      Wawasan pengetahuannya luas penuh makna.
6.      Senantiasa bergaul dengan para ulam sehingga menumbuhkan minat dan perhatian yang mendalam terhadap ilmu.
7.      Kebahagiaan dan kepuasan batiniah muncul ketika ia berbuat baik kepada sesama umat manusia.
8.      Ketika merasa bersalah kepada allah segera beristighfar, memohon ampun kepada Nya, sehingga tidak pernah berlalu perasaan bersalah tanpa istighfar.
9.      Jika diperlakukan buruk oleh seseorang, ia berhasil mengendalikan emosi sehingga tidak cepat marah.
10.  Jika dianiaya, ia bersikap sabar terhadap segala bentuk penganiayaan tersebut, sementara jika dijahati, ia bersikap adil terhadap orang yang berbuat jahat kepadanya.
11.  Tidak berlindung kepada selain allah dan tidak memohon kecuali kepada Nya.
12.  Seseorang yang bertasawuf memilik aqidah yang lurus, jiwa yang bersih, amal yang ikhlas, dan sikap yang peduli terhadap problema social dan masalah keumatan.[51]
Ketiga, Neo-sufisme menempatkan amailiah dzikir, wirid, ‘uzlah, khalwat, dan muraqabah secara proporsional. Dzikir dan wirid diperlukan guna menyucikan jiwa, mendekatkan diri kepada Allah, dan melatih emosi agar dapat merasakan kehadiran Allah dalam hidup ini dan buah dzikir itu diharapkan dapat menumbuhkan integritas moral dan tanggung jawab sosial. Dalam pandangan Neo-sufisme, ‘uzlah atau menarik diri dari kehidupan sosial diperlukan agar dapat mengevaluasi dirinya dalam berbagai pelibatan sosial yang dilakukan secara kritis. Demikian juga khalwat atau menyepi ditempat yang sunyi untuk ibadah, dzikir, wirid, dan doa. Semua itu dilakukan untuk memperkuat kepribadian dirinya sebagai seorang muslim sebagaiman diidentifikiasi oleh Hasan Al-Bashri diatas. Sementara itu, muraqabah atau melakukan renungan dan evaluasi diri sewaktu-waktu diperlukan agar bias memotret dirinya secara utuh, melihat kelebihannya sekaligus memahami bagian-bagian terpenting dari kekurangannya. Ketiganya, ‘uzlah, khalwat dan muraqabah diperlukan untuk memperkuat kepribadian seorang muslim, kemudian dengan kekuatan  ‘uzlah, khalwat dan muraqabah tersebut kembali kepada kehidupan keseharian dan tanggung jawab sosial sebagai seorang muslim.[52]
Fazlur Rahman ( w. 1988 M.), sarjana yang sangat mendalami pemikiran Ibnu Taimiyah dan Ibnu  Qayim Al-Jauziyah (w. 751 H ), menyebut kedua tokoh klasik itu sebagai perintis apa yang ia namakan Neo-sofisme. Sufisme baru ini, menurut Rahman, mempunyai ciri utama berupa penekanan terhadap motif moral dan penerapan metode  dzikir dan muraqabah atau konsentrasi keruhanian guna mendekatkan diri kepada Allah. Sasaran danisi konsentrasi itu disejajarkan dengan doktrin salafi dan bertujuan untuk meneguhkan keimanan kepada akidah yang benar dan kemurnian moral dan jiwa. Gejala yang dapat disebut sebagai neo-sufisme ini mempunyai kecenderungan untuk menghidupkan kembali aktivisme salafi dan menanamkan kembali sikap positif terhadap dunia.[53]
Dalam makna inilah kaum Hambali, pengikut Imam Ahmad bin Hambal ( w. 241 H./885), seperti Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayim Al-Jauziyah sekalipun sangat memusuhi sufisme popular, jelas merupakan kaum neo-sufisme. Keduanya, bahkan menjadi perintis kearah kecenderungan ini. Selanjutnya, kaum neo-sufisme juga mengakui sampai batas tertentu, kebenaran pengakuan para sufi intelektual bahwa mereka menerima kasyf , yakni pengalaman penyingkapan kebenaran Ilahi. Namun, menolak pengakuan mereka bahwa para sufi dengan pengalaman kasyf  itu seolah-olah ma’shum, tidak dapat disalahkan. Sebaliknya, kaum neo-sufisme menekankan bahwa kehandalan kasyf  sebanding lurus dengan kebersihan moral dan kesucial kalbu, yang sesunggguhnya  mempunyai tingkatan-tingkatan. Baik Ibnu Taimiyyah maupun Ibnu Qayim Al-Jauziyah mengaku pernah mengalami kasyf  itu sendiri. Akan tetapi, pengalaman kesufian itu dibawa kepada tingkat intelektual yang sehat. Ibnu Taimiyah mencoba memasukan etos salafi dan makna moral yang puritan ke dalam keseluruhan terminology kesufian tersebut.[54]
Sementara menerut Nurcholis Madjid, neo-sufisme merupakan sebuah esoterisisme atau penghayatan keagamaan batini yang menghendaki hidup aktif dan terlibat dalam masalah-masalah kemasyarakatan. Sesekali menyingkirkan diri (‘uzlah)  mungkin ada baiknya, tetapi hal itu dilakukan untuk menyegarkan kembali wawasan dan meluruskan pandangan yang kemudian dijadikan titik tolak untuk melibatkan diri dalam aktivitas sosial lebih lanjut.[55]
Dalam pada itu, Hamka menyebut tasawuf yang senada dengan pandangan neo-sufisme itu dengan istilah tasawuf modern sebagaimana sudah disebutkan diatas. Dengan diawali penolakan terhadap konsep zuhud yang membenci dunia, Hamka menjelaskan bahwa kita namai tasawuf menurut maksud aslinya, sebagamana dikemukakan Junaid Al-Baghdadi, yaitu keluar dari budi pekerti yang tercela dan masuk kepada budi pekerti yang terpuji. Dengan kata modern, kita tegakan kembali maksud semula dari tasawuf, yakni membersihkan jiwa, mendidik, dan mempertinggi derajat budi, menekan segala kelobaan dan kerakusan, dan memerangi syahwat yang terlebih dari keprluan untuk kesentosaan diri.[56]
Demikianlah sekilas tentang akar dan asal neo-sufisme yang selama ini cukup berkembang didunia islam, termasuk di Indonesia. Sebuah corak tasawufyang dihubungkan dengan corak tasawuf yang dihubungkan dengan corak tasawuf Ibnu Taimiyah yakni tasawuf dalam bingkai syariat islam yang menekankan usaha untuk membersihkan jiwa, mendidik, dan mempertinggi derajat budi, menekan segala kelobaan dan kerakusan dan memerangi syahwat yang bertujuan untuk meneguhkan akidah, mengokohkan keimanan, memurnikan jiwa, dan mempertinggi moral.


DAFTAR PUSTAKA
Tasawuf Menjawab Tantangan Global – Dr. H. Asep Usman Ismail, MA.

BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Gerakan pemurnian Tasawuf dimulai sejak adanya indikasi pemisahan pengmalan Tasawuf dari pengamalan Syariat. pemisahan tersebut disebabkan adanya pertentangan antara orientasi tasawuf dan orientasi fiqih, kaum sufi sebagai pengamal tasawuf menolak fenomena keagamaan yang di anut oleh para fuqaha atau ahli fiqih, yang menurut mereka para fuqaha telah menghabiskan banyak waktu untuk mempelajari ilmu lahiriah saja sedangkan kaum sufi mengklaim bahwa mereka telah memperhatikan subtansi amaliah dengan mendalami hakikat pengetahuan tentang tuhan. Para sufi  mengaku telah berhasil mendapat ilmu secara langsung dari Allah Yang Maha Hidup dan tiada pernah mati , sedangkan mereka menganggap para fuqaha hanya mengambil ilmu yang mati dari orang-orang yang telah mati.
Gerakan pemurnian Tasawuf yang di rintis oleh para ulama salaf dimulai dengan gerakan memadukan fiqih dengan tasawuf yang diawali oleh Imam Malik bin Anas (w. 179 H ). Beliau seorang ulama fiqih (faqih), Mujtahid dan Imam Madzhab, seorang yang berpengetahuan luas ( ‘alim ) dan termasuk salah seorang sufi atau pengamal Tasawuf. Imam malik berujar, “ man tashawwafa walam yatafaqqah faqadh tazandaqa (siapa yang mengamalkan tasawuf tanpa dilandasi pemahaman fiqih, maka sungguh ia telah menyimpang).”
Imam Malik memperkuat ketokohan dirinya dalam bidang fiqih dan tasawuf dengan melahirkan dua langkah operasional. Pertama, menekankan pentingnya mempelajari fiqih sebelum mempelajari tasawuf agar tidak menjadi Zindiq (kelompok yang menyimpang dalam agama ). Kedua, keyakinan beliau bahwa pengetahuan yang sejatinya atau al-hikmah  adalah nur  yang ditiupkan Allah kedalam kalbu.

B.   Saran
Dalam mempelajari ilmu tentang pemurnian tasawuf ini, kita harus terlebih dahulu mengetahui dasar dari permasalahan tersebut. Seperti yang telah dijelaskan di dalam makalah ini, bahwa akar dari pemurnian tasawuf tertanam kokoh ajaran islam yang terdiri atas akidah syariah dan ahlak. Ketiganya bisa dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan seseorang muslim. Kita juga harus memahami bahwa gerakan pemurnian Tasawuf yang di rintis oleh para ulama salaf ini, dimulai dengan gerakan memadukan fiqih dengan tasawuf yang diawali oleh Imam Malik bin Anas, seorang ulama fiqih (faqih), Mujtahid dan Imam Madzhab, seorang yang berpengetahuan luas ( ‘alim ) dan termasuk salah seorang sufi atau pengamal Tasawuf.
Untuk lebih memahami tentang pemurnian tasawuf ini, kita juga harus mengetahui pendapat-pendapat para ulama. Seperti pendapat Ibnu Taimiah, yang tidak lain adalah sumber inspirasi dari gerakan Neo-sufisme. Selain itu, kita juga perlu mencari tahu riwayat ulama tersebut beserta definisi dari gerakan Neo-sufisme itu sendiri untuk menyempurnakan informasi dan detail penjelasan dari permasalahan tentang pemurnian tasawuf ini.









[1] Nurcholis Madjid, Disiplin Keilmuan Islam Tradisional: Tasawuf (Letak dan Peran Mistisme Dalam Penghayatan  Keagamaan Islam), (Jakarta: Makalah Klub Kajian Agama Seri KKA 23 Tahun II/1998), h.9-10
[2] Ibnu Taimiyah, Iqtidha ‘ush-Shirath Al-Mustaqim, (Beirut: Darul Fikr, t.t), h.  
3 Husain Mu’nis, Alamul-Islam, (Kairo: Darul Ma’arif bi Mishra, 1973), h.227.  
[4] Ibnu Khaldun, “Syifa ‘ul-Masa’il li Tahdzibil-Masa’il, dalam ‘Abdul Qadir Mahmud, Al-Falsafat Ash-Shufiyyah fil-Islam. (Kairo: Darul Fikr Al-‘Arabi, 1966), h.92.     
[5]  A.Q. Mahmud, Falsafatush-Shufiyyah fil Islam, h.92-93.
[6]  Ibid, h.93
[7]  Abu Hamid Al-Ghazali, Faishalut-Tafarruqah bainal-Islam wa Zindiqah, (Beirut: Al-Maktab Al-Islami, 1390), h.6.
[8] Muhammad Abu Zahrah, Ibnu Taimiyah: Hayatuhu wa ‘Ashruhu, Ra’yuhu wa Fiquhu, (Darul Fikr Al-Arabi, [t.t]) h.17  
[9]  Nama lengkap Ibnu Taimiyah
[10] Ibnu Katsir (Muhammad bin Isma’il), Al-Bidayah wan-Nihayah, jilid IX juz 14, (Libanon: Darul Fikr, [t.t]), h.136 
[11] Mengenai asal usul nama Taimiyah
[12] Muhammad Abu Zahrah, Ibnu Taimiyah: Hayatuhu wa ‘Ashruhu, Ra’yuhu wa Fiqhuhu, (Darul Fikr Al-Arabi [t.t]) h.17 
[13] Sa’d Shadiq Muhammad, Ibnu Taimiyah Imam As-Saif wal-Qalam, (Kairo: Al-Majlis Al-A’la li Asy-syu’un Al-Islamiyyah, [t.t]), h.10.   
[14] Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin ‘Abdullah Asy-syaukani, Nailul Authar Syarh Muntaqa ‘ul-Akhbar min Ahadits Sayyid Akhbar, juz 1 (Mesir: Musthafa Al-Babi Al-Halabi, [t.t]), h.21. 
[15] Victor E, makari, Ibnu Taimiyah Ethics: The School Factor, (Chico, California, Scholar Press, 1983), h.21. 
[16]  Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdul hadi, Al-‘Uqud Ad-Duriyah fi Manaqib Syaikhil-Islam Ibni Taymiyah, (Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah [t.t]), h.3  
[17] ‘Abdul Aziz Muhammad As-Saliman, Al-Kawasyif Al-jaliyyah ‘an Ma’any Al Washithiyah, (Riyadh: Ri’asat Idarah Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’ wa ad-Da’wah wa Al-Irsyad, 1402 H./1982 M.), h.7
[18] Ibid, h.7
[19] Abu Al-hasan ‘Ali An-Nadwi, Hayatu Syaikhil-Islam Al-Hafihz Ibni Taymiyah, (Kuwait: Darul Qalam, 1975), h.33
[20] Dalam bahasa arab
[21] Sa’d Shadiq Muhammad, Ibnu TaymiyahImam As-saif wa;-Qalam, (kairo: Al-Majlis Al-A’la li Asy-syu’un Al-Islamiyyah, [t.t]), h.10 
[22] Bernard Lewis, et, all, ed, The encyclopedia of Islam, jilid III, (Leiden:E.J. Brill, 1979), h. 951  
[23] Shalih bin ‘Abdul Aziz ‘Ali Manshur, Ushul Fiqh wa Ibnu Taymiyah, juz 1, ([t.p], [t.t], 1980), h.80-81. 
[24]  Ibid. h.81-82 dan h.80-85
[25] Khairuddin Az-Zirikli, Al-A’lam: Qamus Tarajum li Asyharir-Rijal wan Nisa minal A’rab wal-Musta’ribin wal’Mustasyriqin, juz III, (Darul ‘Ilmi Al-Malayin, 1980), h.67. 
[26]  Nama lengkapnya Mahmud bin ‘Abdurrahman bin Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr bin ‘Ali.
[27] Shalih bin ‘Abdul Aziz ‘Ali Manshur, Ushulil Fiqh wa Ibni Taymiyah, juz 1, ([t.p], [t.t], 1980), h. 83
[28]  Ath-Thablawi Mahmud S’ad, Ath-Tashawwuf fi Turats Ibni Taymiyah, (Al-Hai’at Al-Mishriyyah Al-Ammah lil kitab, 1984), h.31
[29] Ibid, h.18
[30] Bernard Lewis, et, all, ed., The Encyclopedia of Islam, jilid III, (Leiden: E.J. Brill, 1979), h.951.
[31] Ibnu Taymiyah, Majmu Fatawa Syaykhil-Islam Ibni Taymiyah, jilid 10, (ed) Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim Al-hambali An-Nadji (Beirut: Darul-‘Arabiyyah, 1398 H.), h.14-15
[32]  Ibnu Taymiyah, Majmu fatawa, jilid XI, (Beirut: Darul ‘Arabiyyah, 1398 H.), h.17-18.
[33] Dalam bahasa arab
[34]  Ibnu Taymiyah, Majmu Fatawa, jilid XI, (Beirut: Darul ‘Arabiyyah, 1398 H.), h.17   
[35]  Dalam bahas arab
[36]  Ibnu Taymiyah, Majmu Fatawa, jilid XI, (Beirut: Darul ‘Arabiyyah, 1398 H.), h.17
[37] Dalam bahasa arab
[38]  Ibnu Taimiyah, Iqtidha ‘ush-Shirath Al-Mustaqim, (Beirut: Darul Fikr, t.t) h.10.
[39] Husain Mu’nis, ‘Alal-Islam, (Kairo: Darul Ma’arif bi Mishra, 1973), h.227.
[40] Ibrahim Madikur fil falsafah Al-Islamiyyah Al-Manhaj wa Thatbiquhu, jilid II, (kairo: Darul Ma’arif bi Mishra, t.t), h.69-70.
[41]  Ibnu Taimiyah, Iqtidha ‘ush-Shirath Al-Mustaqim, (Beirut: Darul Fikr, t.t) h.10.
[42] Ibid.
[43]  As-Sarraj, Al-Lumma, (Mesir: Darul Mishriyyah, 1960) h.23
[44]  Ibnu Taimiyah, At-Tuhfah Al-‘Iraqiyyah fi A’ma Al-Qulub, Abu Abdurrahman Al Hamdi, cet 1, (Riyadh, Dar Zamzam 1414 H, 1993) h.22. 
[45]  Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa, jilid X, (Beirut: Darul ‘Arabiyyah, 1398 H.), h.5-6.
[46]  Ibid
[47] Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), h.6-7.
[48]  Azyumardi Azra, “Tasawuf dan tarekat”, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, jilid VI, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2001), h.378.
[49]  Ibid
[50]  Azyumardi Azra dan Asep Usman Ismail, “Pengantar Dewan Redaksi”, Ensiklopedia Tasawuf. (Bandung: Penerbit Angkasa Bandung, 20080, h.xiv
               
[51]  Azyumardi Azra dan Asep Usman Ismail, “Hasan Al-Bashri, Ensiklopedia Tasawuf, jilid I, (Bandung: 2008), h.461-462
[52]  Azyumardi Azra dan Asep Usman Ismail, “Pengantar Dewan Redaksi”, Ensiklopedia Tasawuf. (Bandung: Penerbit Angkasa Bandung, 20080, h.xiv
[53]  Fazlur Rahman, “Islam”, terj. Ahsin Mohammad, Islam Fazlur Rahman, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1404 H./1984 M.), h.285

[54]  Ibid, h.285
[55]  Nurcholish Madjjid, ”Neo Sufisme” dalam Islam Agama Peradaban: Membangun Makna Islam dalam Sejarah, (ed) Muhammad Wahyuni Nafis, (Jakarta: Paramadina, 1995), h.103  
[56]  Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), h.6-7.











|

0 Comments

Posting Komentar

Copyright © 2009 ILADIENA ZULFA All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.