0
Pandangan Dunia
Oleh: Tasman,
M.Si
Dosen Antropologi Agama, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Jakarta
Dosen Antropologi Agama, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Jakarta
Kebudayaan
pada dasarnya merupakan sistem makna dan sistem nilai yang dikomunikasikan
melalui simbol-simbol. Sistem makna dan sistem nilai terdiri dalam empat
tingkat, yakni
1.
Common
Sense
2.
Ilmu
Pengetahuan
3.
Estetika
4.
Agama
Common Sense
Common
sense adalah suatu realisme naif, di mana dunia yang dialami dan diisinya
diterima sebagaimana tampaknya. Tidak ada distingsi yang dibuat antara gejala
yang menampak (seeming) dengan wujud sebenarnya dari gejala-gejala tersebut (being).
Realitas diandaikan benar (given). Dalam berhadapan dengan dunia hidupnya
orang-orang berdasarkan “common sense” ini dibimbing oleh motif pragmatis.
Dunia ditanggapi sejauh memenuhi kebu-tuhannya sehari-hari. Tanggapan terhadap
dunia dan lingkungan hidupnya dilakukan melalui semacam analisis yang
berdasarkan konsep-konsep informal.
Ilmu
Pengetahuan
Ilmu
pengetahuan bertolak dari paham yang dinamakan relisme kritis. Mulai dicoba
mengadakan pembedaaan antara gejala-gejala yang tampak (seeming) dan wujud
sebenarnya yang berada di balik gejala-gejala itu (being). Realitas tidak
diterima sebagaimana apa adanya tetapi mulai dipertanyak-kan. Dunia hidup tidak
semata-mata secara pragmatis, tetapi “diawasi” dalam observasi yang terkontrol.
Tanggapan terhadap dunia atau lingkungan hidup dilakukan berdasarkan analisa
dengan bantuan konsep-konsep formal yang teruji dan terus menerus.
Estetika
Estetik
menunjuk suatu kecendrungan yang khas. Kalau dalam “common sense” jarak antara
penampakan gejala-gejala tidak dilihat, kalau dalam ilmu pengetahuan jarak itu
dipertegas dan diawasi, maka dalam estetika jarak itu diabaikan sama sekali.
Wujud yang sebenarnya dari gejala-gejala menjadi tidak penting, karena estetika
sebetulnya sudah merasa cukup puas dengan kualitas penampakan-penampakan itu.
Perjumpaan seseorang dengan penampakan-penampakan itu justru diintensifkan agar
supaya yang bersangkutan dapat terserap secara total ke dalamnya. Realitas
tidak dipertanyakan melainkan diterima atau ditolak, dianggap penting atau diabaikan.
Kalau ilmu dipertaruhkan dalam observasi kritis tentang gejala-gejala empiris,
maka estetika dipertaruhkan dalam kontemplasi intensif tentang
aktualitas-aktualitas sensoris.
Agama
Agama
ditinjau secara khusus di sini dari ketiga bidang di atas. Kalau dalam “common
sense” orang sudah puas dengan kenyataan sehari-hari (every day-life
realities), maka dalam agama orang akan mencari realitas yang lebih benar dan
bahkan terakhir, yang dapat menjadi ukuran untuk kenyataan hidup sehari-hari.
Tanggapan terhadap dunia tidak dilakukan secara pragmatis, melainkan dilakukan
berdasarkan persepsinya mengenai kenyataan terakhir (ultimate realities).
Agama
berbeda dari ilmu pengetahuan justru dalam sikap keduanya teradap kenyataan
sehari-hari tersebut. Kalau ilmu mempertanyakan berdasarkan kebenaran-kebenaran
kategoris dan bekerja atas dasar analisis yang dilakukan dalam jarak
(detacement), maka agama justru menghimbau penganutnya untuk berjumpa/berhadapan
dengan kenyataan-kenyataan terakhir dan melakukan komitment terhadapnya.
Agama
berbeda dari estetika dalam definitisinya mengenai kenyataan-kenyataan
terakhir. Kalau dalam estetika seseorang merasa cukup menerimanya sebagai
gejala/penampakan, maka dalam agama seseorang dituntut untuk memenrimanya
sebagai fakta, sebagai realitas, “sebagai really real”.
Pentingnya
Sistem Makna
Ada
berbagai tingkatan pandangan dunia/sistem makna tersebut akan memungkinkan
bahwa seseorang yang kehilangan sistem makna pada lapis yang satu masih dapat
diselamatkan pada lapis lainnya. Dengan demikian maka seseorang yang kahilangan
sistem makna dalam agama, masih dapat memperoleh pegangan dalam ilmu
pengetahuan, sedangkan seseorang yang kehilangan pegang-an dalam ilmu pengetahuan,
masih dapat mengandalkan pegangannya dalam dunia seni.
Batas
terakhir yang tidak bisa dilanggar untuk tetap memertahankan suatu kehidupan
yang normal adalah “common sense”. Seseorang bisa saja tak acuh secara
religius, tidak terlatih secara ilmiah, tidak peka secara estetis, tetapi dia
tak bisa hidup tanpa “common sense” sama sekali.
Kekacauan Dunia
Suatu
sistem makna, suatu pandangan dunia adalah kebutuhan dasar kebudayaan, karena
tanpa itu dunia akan tampak sebagai suatu khaos, yang bukan saja tanpa arti,
tetapi tak mungkin diberi arti.
Ada
tiga titik di mana khaos dapat menelusup masuk ke dalam hidup manusia, yaitu
titik analitis, di mana kemampuan seseorang untuk memahami dan menjelaskan
sesuatu berakhir, titik emosional di mana kemampuan seseorang untuk menahan
sesuatu berakhir, dan titik moral di mana di mana pengertian moral seseorang
mencapai batasnya.
Khaos
pada tingkat analitik menghasilkan kebingungan, khaos pada tingkat emosional
menghasilkan penderitaan, dan khaos pada tingkat moral menimbulkan semacam rasa
pertentangan/paradok moral.
Agama dan
Budaya
Salah
satu pokok perdebatan di antara ahli-ahli ilmu sosial adalah manakah dari
keempat tingkat pandangan hidup itu yang paling menetukan kehidupan manusia
khususnya pada orang-orang yang belum terpengaruh oleh kebudayaan ilmu dan
tekhnologi?
Levy-Bruhl
misalnya membela pendapat bahwa pandangan dasar manusia sebetulnya bersifat
religious. Orang-orang atau suku-suku yang masih hidup dalam kebudayaan asli
pada dasarnya selalu berada dalam pertemuan dan pengalaman mistik. Pandangan
dunia yang dasar selalu ditentukan oleh konteks religious.
Malinowski,
berpendapat, pandangan dunia yang terpenting adalah “common sense’. Manusia
pada dasarnya hidup dalam pragmatis, dengan tindakan dan kegiatan-kegiatan yang
bersifat praktis. Tingkah laku manusia lebih banyak ditentukan atau dipengaruhi
oleh “everyday-life reality” dan bukan “ultimate reality”.
Clifford
Gertz, dengan menyetujui pendapat Alfred
Scutz, nampaknya ter-pesona oleh dunia “common sense”, yang bagi Schutz selalu
merupakan the paramount reality. Ini berarti suatu penyelidikan terhadap suatu
sistem budaya mau tak mau harus mulai dengan penyelidikan dengan dunia “common
sense” sekelompok orang, karena di situlah terlihat tanggapan dan pengertian
mereka sehari-hari mengenai dunia hidupnya, yaitu tanggapan yang langsung
mempengaruhi tingkah laku mereka sebelum mereka tersentuh oleh agama, ideologi
atau ilmu pengetahuan.
Faktor Penentu
dalam Pandangan Dunia
Kalau
wahyu adalah faktor yang menetukan dalam agama, metode adalah faktor yang
menetukan dalam ilmu pengetahuan, “moral passion” adalah faktor yang
menen-tukan dalam ideologi ---maka hal yang menjadi unsur konstitutif ‘common
sense” adalah “the mere matter-of-fact apprehensif of reality”, yang
memang dimungkinkan oleh beberapa sifatnya yang khas.
Dengan
demikian, kalau dalam ilmu kita berurusan dengan kebenaran hipotetis, kalau
dalam agama kita berurusan dengan kebenaran kategoris, kalau dalam seni kita
berurusan dengan keindahaan, kalau dalam “common sense” kita berurusan dengan
kebenaran ad hoc dan pragmatis, maka dalam ideologi kita berurusan dengan
keterlibatan, semangat, keberpihakan dan “moral passion”.
Konsep Rasa
Rasa
pada orang Jawa diterjemahkan menjadi sense (gerak), taste (selera), feeling
(emosional), meaning (politik).
Rasa
bagi orang Jawa adalah ringkasan paham kosmologis, seperangkat kepercayaan
agama, suatu tanggapan terhadap hubungan-hubungan sosial dan semacam ‘komentar”
tentang peristiwa-peristiwa psikologis. Rasa menekankan aspek koginitif orang
Jawa menunjuk kepada padangan dunia orang Jawa. Rasa menekankan aspek evaluatif menunjuk etos
orang Jawa Yang dikomunikasikan melalui sistem simbol-simbol
Pandangan Dunia
Orang Jawa
Dalam
pandangan dunia orang Jawa Tuhan terdapat di dalam kedalaman batin dan hanya
bisa tercapai sebagai rasa yang murni melalui disiplin-disiplin rohani.
kebijakan hidup terletak dalam sikap “kebebasan jiwa” yang tidak terpengaruh
lagi oleh kegembiraan atau frustasi. Gejolak batin diatur melalui teori-teori
spekulatif tentang emosi.
Pada
segi evaluatif, etos orang Jawa maka yang terlihat adalah tuntutan untuk
menekankan tingkah laku yang sopan, halus dan teratur. Kebahagiaan atau kesedihan
tidak banyak bedanya, karena seseorang dituntut melampaui gejolak perasaan dan
bertahan dalam suatu ketenangan yang mantap atau kemantapan yang tenang.
Persepsi-persepsi batin yang diuji melalui analisa empiris yang cermat.
Posting Komentar