0
PENDEKATAN ANTROPOLOGI TERHADAP AGAMA
Oleh: Tasman, M.Si.
Perhatian antropologi terhadap Religi dan Kepercayaan
Agama resmi yang diakui oleh Pancasila ada lima; Islam Protestan,
Katholik Roma, Hindu Dharma, Budha, Keprcayaan. Namun tak dapat diabaikan juga
dalam semua agama yang ada tentu ada sebagian yang tidak mengikuti dengan tepat
ajaran yang resmi. Sebagian besar pemeluk Islam di Jawa tidak sepenuhnya
menjalankan agamanya sesuai dengan syariat
agama Islam. Mereka secara umum dinakamakan “Islam abangan”, atau
penganut “agama Jawi”, sementara penganut agama Islam yang asli disebut
“Islam santri”. Ilmu yang mempelajari agama murni disebut ilmu agama.
Sementara antropologi dan etnografi mempelajari dan mendeskripsikan praktik
religinya.
Walaupun sejak awal disadari bahwa kajian tentang agama akan
mengalami kesulitan karena meneliti sesuatu yang menyangkut kepercayaan
(beliefs) yang ukuran kebenarannya terletak pada keyakinan
Evans-Pritchard, salah seorang pionir dalam tradisi antropologi
sosial di Inggris, mengatakan bahwa dilema kajian tentang agama adalah bahwa
pemahaman realitas agama tidak akan sepenuhnya dapat difahami kecuali oleh
orang yang mengamalkan agama itu sendiri.
Kesulitan mempelajari agama dengan pendekatan budaya, dengan
mempelajari wacana, pemahaman dan tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan
ajaran agama, dirasakan juga oleh mereka yang beragama.
Kesulitan itu terjadi karena ketakutan untuk membicarakan masalah
agama yang sakral dan bahkan mungkin tabu untuk dipelajari. Persoalan itu
ditambah lagi dengan keyakinan bahwa agama adalah bukan hasil rekayasa
intelektual manusia, tetapi berasal dari wahyu suci Tuhan. Sehingga realitas
keagamaan diyakini sebagai sebuah "takdir sosial" yang tak perlu lagi
dipahami.
Namun sesungguhnya harus disadari bahwa tidak dapat dielakkan agama
tanpa pengaruh budaya-ulah pikir manusia-tidak akan dapat berkembang meluas ke
seluruh manusia. Bukankah penyebaran agama sangat terkait dengan usaha manusia
untuk menyebarkannya ke wilayah-wilayah lain. Dan bukankah pula usaha-usaha
manusia, jika dalam Islam bisa dilihat peran para sahabat, menerjemahkan dan
mengkonstruksi ajaran agama ke dalam suatu kerangka sistem yang dapat diikuti
oleh manusia. Lahirnya ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fikih dan ilmu usul fikih
adalah hasil konstruksi intelektual manusia dalam menerjemahkan ajaran agama
sesuai dengan kebutuhan manusia di dalam lingkungan sosial dan budayanya.
Keberagaman sosial budaya yang ada di dunia ini mengakibatkan pada kompleksitas
agama.
Sebagai fenomena universal yang kompleks, keberadaan agama dalam
masyarakat telah mendorong lahirnya banyak kajian tentang agama. Kajian-kajian
tentang agama berkembang bukannya karena agama ternyata tak dapat dipisahkan
dari realitas sosial, tetapi ternyata realitas keagamaan berperan besar dalam
perubahan sosial dan transformasi sosial.
Perlu juga ditandaskan bahwa sikap mempertanyakan kembali makna
agama dan relevansinya dengan kehidupan sosial juga fenomena universal yang ada
dimana-mana. Kajian-kajian agama baik dalam masyarakat primitif sampai pada
masyarakat yang modern menunjukkan bahwa keberadaan agama selalu mengandung dua
sisi yang berbarengan, yaitu kecenderungan transendensi dan sekularisasi.
Secara garis besar kajian agama dalam antropologi dapat dikategorikan
ke dalam empat kerangka teoritis;
1.
Intellectualist,
2.
Structuralist,
3.
Functionalist
dan
4.
Symbolist.
Tradisi kajian agama dalam antropologi diawali dengan mengkaji
agama dari sudut pandang intelektualisme yang mencoba untuk melihat definisi
agama dalam setiap masyarakat dan kemudian melihat perkembangan (religious
development) dalam satu masyarakat.
Termasuk dalam tradisi adalah misalnya E.B. Taylor yang berupaya
untuk mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap adanya kekuatan
supranatural. Walaupun definisi agama ini sangat minimalis, definis ini
menunjukkan kecenderungan melakukan generalisasi realitas agama dari animisme
sampai kepada agama monoteis..
E.B. Taylor : Teori Tentang Ruh.
E.B. Taylor berpendapat
bahwa manusia percaya kepada suatu kekuatan yang dianggapnya lebih tinggi dari
dirinya dan melakukan berbagai macam cara untuk mencari hubungan dengan
kekuatan-kekuatan tadi. Oleh karena itu: Manusia sadar akan adanya konsep
ruh; Manusia mengakui adanya berbagai gejala yang tak dapat dijelaskan dengan
aka;, Keinginan manusia untuk mengahadapi berbagai kisis yang senantiansa
dialami manusia dalam daur hidupna;, Kejadian-kejadian luar biasa yang dialami
manusia di alam sekelilingnya;Adanya getaran (emosi) berupa rasa kesatuan yang
timbul dalam jiwa manusia sebagai warga dari masyarakat;Manusia menerima suatu
firman Tuha. Teori tentang ruh yang disebabkan oleh dua hal; perbedaan
yang tampak anatar benda yang hidup dan yang mati; Pengalaman bermimpi.
MIRCEA ELIADE DAN MAX MULLER
Menurut Mircea Eliade perkembangan agama menujukkan adanya gejala
seperti bandul jam yang selalu bergerak dari satu ujung ke ujung yang lain.
Demikian juga agama berkembang dari kecenderungan anismisme menuju monoteisme
dan akan kembali ke animisme. Tetapi, berdasar pada ajaran yang terdapat dalam
kitab suci, Max Muller berpandangan bahwa agama bermula dari monotheisme
kemudian berkembang menjadi agama-agama yang banyak itu.
J,G. Frazer: Teori Batas Akal.
Frazer berpendapat bahwa manusia memecahkan
masalah-masalah hidupnya dengan akal dan sistem pengetahuannya, akan tetapi
akal dan sistem pengetahuan mansia terbatas. Soal-soal hidup yang tak dapat
dipecahkan dengan akal, dipecahkan dengan magic, atau ilmu gaib. Ilmu ghaib
adalah segala sistem perbuatan dan sikap manusia untuk mencapai suatu maksud
dengan menguasai dan menggunakan kekuatan-kekuatan hukum-hukum gaib yang ada di
alam semesta. Sedangkan religi: segala sistem perbuatan untuk mencapai suatu
maksud dengan cara menyandarkan diri pada kehendak dan kekuasaan
makhluk-makhluk halus (misalnya roh, dewa, dll.)
M. Crawley: Teori masa krisis dalam hidup
manusia.
Crawley berpendapat bahwa selama hidupnya
manusia mengalami masa krisis yang sangat ditakuti dalam hidupnya. Terutama ketika menghadapi bencana sakit,
hamil, melahirkan dan maut, segala kepandaian, kekuasaan, dan harta benda yang
dimilki tidak berdaya. Pada saat seperti ini manusia merasa perlu melakukan
sesuatu untuk memperteguh imannya. Perbuatan-perbuatan inilah yang merupakan
pangkal dari religi dan merupakan bentuk-bentuk tertua dari agama.
R.R. Marret : Teori Kekuatan Luar Biasa.
Marret berpandangan bahwa pangkal dari segala
perilaku keagamaan ditimbulkan karena adanya perasaan tidak berdaya dalam menghadapi
gejala-gejala luar biasa dalam kehidupan manusia. Alam tempat gejala-gejala dan
peristiwa-peristiwa itu berasal oleh manusia dianggap sebagai tempat adanya
kekuatanyang melebihi kekuatan manusia yang disebut kekuatan supernatural.
Teori Firman Tuhan:
Teori agama langit menganggap Agama turun dari
titah Tuhan pada awal keberadaan manusia di bumi.
EMILE DURKHEIM: Strukturalis, Fungsionalis dan Simbolis
Ketiga teori, strukturalis, fungsionalis dan simbolis, sesungguhnya
lahir dari Emile Durkheim. Buku Durkheim, The Elementary Forms of the Religious
Life, telah mengilhami banyak orang dalam melihat agama. Lewat buku itu
Durkheim ingin melihat agama dari bentuknya yang paling sederhana yang diimani
oleh suku Aborigin di Asutralia sampai ke agama yang well-structured dan
well-organised seperti yang dicerminkan dalam agama monoteis.
EMILE DURKHEIM
Durkheim menemukan bahwa aspek terpenting dalam pengertian agama
adalah adanya distingsi antara yang sacred dan yang profan. Namun demikian ia
tak setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa yang sacred itu selalu
bersifat spiritual. Dalam agama sederhana suku Aborigin Australia ditemukan
bahwa penyembahan kepada yang sacred ternyata diberikan kepada hal-hal yang
profan semisal Kanguru.
Pendekatan Strukturalisme
Di samping kritik terhadap pendekatan intelektualis itu, Durkheim
juga mengungkapkan bahwa masyarakat dikonseptualisasikan sebagai sebuah
totalitas yang diikat oleh hubungan sosial. Dalam pengertian ini maka society
(masyarakat) bagi Durkheim adalah "struktur dari ikatan sosial yang
dikuatkan dengan konsensus moral." Pandangan ini yang mengilhami para
antropolog untuk menggunakan pendekatan struktural dalam memahami agama dalam
masyarakat. Claude Levi-Strauss adalah satu murid Durkheim yang terus
mengembangkan pendekatan strukturalisme, utamanya untuk mencari jawaban
hubungan antara individu dan masyarakat. Bagi Levi-Strauss agama baik dalam
bentuk mitos, magic adalah model bagi kerangka bertindak bagi individu dalam
masyarakat. Jadi pandangan sosial Durkheim dikembangkan oleh Levi-Strauss
kepada tidak saja secara hubungan sosial tetapi juga dalam ideologi dan pikiran
sebagai struktur sosial.
FUNGSIONALISME
Sementara itu pandangan Durkheim tentang fungsi dalam masyarakat
sangat berpengaruh dalam tradisi antropologi sosial di Inggris. Pandangan
Durkheim yang mengasumsikan bahwa masyarakat selalu dalam keadaan equilibrium
dan saling terikat satu dengan yang lain, telah mendorong para antropolog untuk
melihat fungsi agama dalam masyarakat yang seimbang tersebut. Fungsi psikologi
agama, sebagai penguat dari ikatan moral masyarakat dan fungsi sosial agama
sebagai penguat solidaritas manusia menjadi dasar dari perkembangan teori
fungsionalisme.
Branislaw Malinowski mengatakan bahwa fungsi agama dalam masyarakat
adalah memberikan jawaban-jawaban terhadap permasalahan-permasalahan yang tidak
dapat diselesaikan dengan common sense-rasionalitas dan kemampuan menggunakan
teknologi. Dalam setiap kali menyelesaikan persoalan-persoalannya, manusia
menggunakan kemampuan rasionalitas dan penciptaan teknologi.
Ketika sebuah masyarakat traditional Suku Trobiand di daerah
pesisir Papua Nugini menemukan bahwa ladangnya telah dirusak oleh babi hutan,
maka dengan kemampuan rasionalitas dan penguasaan teknologinya masyarakat suku
Trobiand membuat pagar agar babi tak dapat lagi masuk ke ladangnya. Namun
ketika hendak berburu ikan di lautan, dimana gelombang lautan dan cuaca yang
tidak dapat mereka kontrol dengan kemampuan rasionalitas dan teknologi, mereka
menggunakan agama sebagai pemecahnya. Maka sebelum mereka berlayar, mereka
melakukan ritual dengan sesaji sebagai sarana komunikasi dengan kekuatan
spiritual untuk menyelesaikan masalah yang unpredictable.
SIMBOLISME
Teori simbolisme yang menjadi teori dominan pada dekade 70-an
sebenarnya juga mengambil akarnya dari Durkheim, walaupun tidak secara
eksplisit Durkheim membangun teori simbolisme. Pandangan Durkheim mengenai
makna dan fungsi ritual dalam masyarakat sebagai suatu aktifitas untuk
mengembalikan kesatuan masyarakat mengilhami para antropolog untuk menerapkan
pandangan ritual sebagai simbol. Salah satu yang menggunakan teori tersebut
adalah Victor Turner ketika ia melakukan kajian ritual (upacara keagamaan) di
masyarakat Ndembu di Afrika. Turner melihat bahwa ritual adalah simbol yang
dipakai oleh masyarakat Ndembu untuk menyampaikan konsep kebersamaan.
Clifford Geertz: AGAMA
Pengertian Agama menurut Clifford Geertz:(1) Sebuah sistem
simbol-simbol yang berlaku untuk (2) menetapkan suasana hati dan motivasi yang
kuat, yang meresapi, dan yang tahan lama dalam diri manusia dengan (3)
merumuskan konsep-konsep mengenai tatanan umum eksistensi dan (4) membungkus
konsep-konsep ini dengan semacam pancaran faktualitas, sehingga (5) suasana
hati dan motivasi-motivasi itu tampak realitas.