0
Pemurnian Tasawuf : Akar dan Gerakan Sosial
Makalah ini
diselesaikan untuk memenuhi nilai terstruktur mata kuliah Akhlak Tasawuf
Dosen Pembimbing : Drs.
H. M. Sungaidi, MA.
Oleh:
Dina Karomatunisa (1113051000161)
Iladiena Zulfa (1113051000117)
Jasmine Nurfitri Yamandharlie (1113051000134)
Putri Husnul Aprilia (1113051000132)
Jurnalistik 2B
Konsentrasi Jurnalistik
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun Akademik 2013 – 2014
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Fenomena
Sufisme adalah sesuatu asing bagi kehidupan di masyarakat. Sufisme terkenal
dengan sesuatu yang hanya berhubungan dengan Tuhan saja, tanpa mementingkan
kehidupan dunia dengan keluarga dan masyarakat. Padahal, kita hidup di dunia
pasti membutuhkan hubungan dengan sanak saudara. Kembali kepada istilah bahwa
Manusia adalah “Zoom Politicon”, yaitu Manusia adalah makhluk sosial yang tidak
bisa hiduo tanpa orang lain.
Paham sufi yang
hanya menekankan kedekatan dengan Tuhan adalah tidakn benar. Karena, Sufisme
yang sesungguhnya adalah Sufisme yang didasarkan pada akidah, syariah dan
akhlak. Jadi, untuk menjadi seorang Sufi, hal yang lebih penting ditekankan
adalah ilmu Fiqh. Karena, Fiqh dan Tasawuf memiliki keterkaitan yang erat.
Pemurnian
tasawuf yang dibahas dalam makalah ini mengenai pembersihan dari pertentangan
para Fuqaha yang berlandaskan lahiriah dan Sufi yang berlandaskan batiniah.
Seiring berkembangnya zaman terjadilah Reformasi Tasawuf, yaitu sesuatu yang
ada guna meluruskan paradigm tasawuf bahwa sufisme bukan berarti membenci
dunia, membenci harta, dan membenci kemewahan.
Perlahan, Neo
Sufisme berkembang. Hal ini ditandai dengan adanya Bank Syari’ah yang muncul
dari Barat. Hal ini bermaksud untuk menghubungkan Ekonomi, Tasawuf dan Fiqh
bahwa ketiganya memiliki relasi yang dapat menjadikan Umat Islam menjadi Umat
yang terhormat.
B.
Rumusan
Masalah
·
Apakah
para sufi termasuk golongan siddiqin?
·
Apa
saja ciri umum gerakan Neosufisme?
·
Bagaimana
pandangan Ibnu Taimiyah tentang tasawuf?
·
Siapa
sumber inspirasi gerakan neosufisme?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui
akar pemurnian tasawuf.
2.
Mengetahui
pemurnian tasawuf di zaman modern
3.
Menumbuhkan
tenggang rasa dalam diri pelaku hubungan antar kelompok.
4.
Mempelajari
pandangan neosufisme
D.
Metode
Penelitian
Pada pembuatan
makalah ini, metode yang kami gunakan dalam mengumpulkan data adalah dengan
merangkum dari buku pemurnian tasawuf.
E.
Sistematika
Penulisan
BAB I. PENDAHULUAN
Pada bagian ini berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II. PEMBAHASAN
Berisi mengenai identifikasi pemurnian tasawuf.
Pada bagian ini berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II. PEMBAHASAN
Berisi mengenai identifikasi pemurnian tasawuf.
BAB III. PENUTUP
Berisi tentang kesimpulan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
Berisi tentang
sumber penulisan makalah
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Akar Pemurnian Tasawuf
Akar gerakan pemurnian Tasawuf tertanam kokoh ajaran islam yang
terdiri atas akidah syariah dan akhlak. Ketiganya bisa dibedakan, tetapi tidak
dapat dipisahkan dalam kehidupan seorang muslim. Gerakan pemurnian tasawuf
dimulai sejak ada indikasi pemisahan pengamalan Tasawuf dari pengamalan
syariat. Kaum muslimin yang hanya mengamalkan tasawuf disebut dengan ahli
kebatinan ( Ahlul Bathin) sedangkan kaum muslimin yang hanya mengamalkan
syariat atau fiqih disebut Ahlilah lahiriyah (Ahluz-zhahir). Pertentangan diantara orientasi batini dan
orientasi lahiri atau orientasi tasawuf dan orientasi fiqih dalam pengalaman
islam ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Embrio kehidupan spriritual yang pernah dilakukan oleh dua orang
sahabat Nabi SAW; “Abdullah bin ‘Amr bin AL- ‘Ash” dan “ Utsman bin Madh’ un”,
berkembang menjadi budaya spiritual mandiri dalam bingkai Tasawuf.
Kecenderungan spiritual ini secara perlahan, tetapi pasti mulai meninggalkan
pola-pola legal formal syariat. Perpisahan diantara kedua orientasi
keagamaan ini semakin lebar. Keduanya, menurut Nurcholish Madjid, seakan
berlomba mencari legitimasi dari Al- Qur’an dan Sunnah Nabi. Orientasi
keagamaan eksoteris (lahiriah) yang bertumpu pada prinsip legal formal hokum
mengklaim sebagai paham keagamaan yang berada pada jalan kebenaran; demikian
juga orientasi keagamaan esoteris (batiniah) yang bertumpu pada pengalaman dan
kesadaran pribadi juga mengklaim diri sebagai pengetahuan keagamaan yang
membawa kepada jalan kebahagiaan. [1]
Ibnu Taimiyah melukiskan antara orientasi keagamaan eksoteris pada
fuqaha’ dengan orientasi keagamaan eksoteris para sufi menyerupai pertentangan
antara kaum Yahudi dan Nasrani sebagaimana tergambar pada ayat Al-Qur’an yang
berarti :
“ Kaum Yahudi berkata, orang-orang Kristen itu tidak ada apa-apanya;
dan kaum Kristen berkata, orang-orang
Yahudi itu tidak ada apa-apanya,” (Qs. Al-Baqarah [2]: 113).
Masih menurut Ibnu Taimiyah, pertentangan antara kaum sufi dengan
para fuqaha’ saling menafikan yang satu terhadap yang lain[2].
Polemik dan kontroversi diantara
keduanya tidak dapat dihindari. Kaum sufi menolak fenomena keagamaan para fuqaha’
yang menurut mereka telah menghabiskan usia untuk mempelajari ilmu lahiriah (‘ilmuzh-zhahir),
sedangkan kaum sufi mengklaim bahwa
mereka telah memperhatikan subtansi amaliah ( ruhul’- amal) dengan mendalami
hakikat pengetahuan tentang Tuhan ( haqa’iqul – ma’rifah) dan telah sampai
kepada Allah melalui perjuangan ruhani (al-mujahadah) dan keiklasan beribadah dengan
konsisten dan berkesinambungan (istiqomah-mudawamah). Para sufi pun mengaku
telah berhasil mendapatkan ilmu secara langsung dari Allah. Mereka menuduh para
fuqaha’ telah mengambil ilmu yang mati
dari orang-orang yang mati, sedangkan kaum sufi telah mengambil ilmu
dari Yang Maha Hidup dan tiada pernah mati. [3]
B.
Memadukan Fiqih dengan Tasawuf
Gerakan pemurnian Tasawuf yang di rintis oleh para ulama salaf
dimulai dengan gerakan memadukan fiqih dengan tasawuf yang diawali oleh Imam
Malik bin Anas (w. 179 H ). Beliau seorang ulama fiqih (faqih), Mujtahid dan
Imam Madzhab, seorang yang berpengetahuan luas ( ‘alim ) dan termasuk salah
seorang sufi atau pengamal Tasawuf. Imam malik pernah berujar, “ man
tashawwafa walam yatafaqqah faqadh tazandaqa (siapa yang mengamalkan
tasawuf tanpa dilandasi pemahaman fiqih, maka sungguh ia telah menyimpang).”
Beliau memandang bahwa ilmu itu bukan karna menguasai banyak sumber rujukan
atau ( ar riwayah ), tetapi berdasarkan nur yang disimpan Allah dalam
kalbu seseorang. [4]
Pandangan Imam Malik bin Anas ini memadukan dan
pengetahuan aqal (‘ilmul-‘aqli) dan pengetahuan kalbu ( ‘ilmul-qalbi
) yang merupakan landasan tasawuf suni.
Berdasarkan pemikiran diatas, Imam Malik berhasil memperkuat
ketokohan dirinya dalam bidang fiqih dan tasawuf dengan melahirkan dua langkah
operasional. Pertama, menekankan pentingnya mempelajari fiqih sebelum
mempelajari tasawuf agar tidak menjadi Zindiq (kelompok yang menyimpang
dalam agama ). Kedua, keyakinan beliau bahwa pengetahuan yang sejatinya atau al-hikmah
adalah nur yang ditiupkan Allah kedalam kalbu. Menurut
Imam Malik, al-hikmah adalah al-fiqih atau pemahaman yang mendalam tentang agama
Allah yang diperoleh melalu cara dia memasuki al - hikmah kedalam sanubari.[5]
Dapat pula ditambahkan bahwa al- hikmah adalah menanti Allah, megikuti
bimbingan-Nya, memahami agama-Nya dan memiliki pengetahuan tentang agama-Nya. [6]
Perjuangan Imam Malik Bin Anas untuk memadukan Fiqih dengan Tasawuf
diterusan oleh beberapa ulama terkemuka seperti Abu ‘Abdullah Al-Haris bin Asad
Al-Muhasibi ( W. 243 H), seperti Abu Bakar Muhammad Al-kalabadzi (W.380 H), Abu
Thalib Al-Makki ( W. 386 H), dan Abu Al- Kasim ‘ Abdul Karim bin Hawazin bin
Abdul Malik Al- Qusyairi ( W. 465 H ), dan mencapai puncaknya pada masa Abu
Hamid Al-Ghazali ( W. 505 H). Beliau berhasil memadukan kedua corak orientasi
keberagaman lahiri dan batini itu dalam suati symphony indah yang dikenal
sebagai Tasawuf Sunni, yakni pengamalan tasawuf berdasarkan bimbingan Al-Quran
dan Sunnah Nabi. [7]
Sejak masa Al- Ghazali dunia islam mengenal dunia Tasawuf sunni
yang membedakannya dari Tasawuf bid’ah, yakni tasawuf yang keluar dari koridor
Al-Qur’an dan Sunnah. Adapun yang
dimaksud dengan Tasawuf sunni adalah mengamalkan Tasawuf dengan mengikuti
sunnah Nabi. Dalam pengamalan tasawuf sunni ini, perkataan, perbuatan, dan
ketetapan atau persetejuan Nabi SAW. Tentang perilaku sahabat senantiasa di
jadikan acuan.
Dengan demikian, tasawuf sunni secara singkat dapat dikatakan
sebagai perjuangan untuk bertasawuf dengan menjadikan sunnah Nabi Muhammad SAW,
sebagai titik pusat perhatian. Keseluruhan ahlak beliau dijadikan sumber
inspirasi dan keteladanan; bahkan kepribadian beliau yang agung diyakini
sebagai personifikasi yang membumi dari Rosulullah Saw. Sebagai grand sufi yang
berada pada puncak piramida spiritual hal ini sebagaimana dikatakan Al-Hujwiri,
“ jika pendakian spiritual para kekasih Allah ( aulia’ullah ) merupakan
kepala yang berada pada bagian paling atas dari anatomi manusia, maka
pencapaian kualitas rohani mereka itu berada pada telapak kaki grand sufi,
Rosulullah Saw.” Sementara itu, Al-Hakim At- Tirmidzi menyatakan, “
Rosulullah Saw. Adalah seorang yang sudah keluar rumah dalam keadaan siap
sempurna, kemudian menempuh perjalanan spiritual hingga berhasil
berhadap-hadapan langsung dengan Allah dalam jarak yang sangat dekat. Berdialog
secara personal tanpa pendampingan malaikat Jibril; memperoleh pembekalan dan
oleh-oleh yang mengagumkan para pencari kearifan; bahkan sudah kembali
ketengah-tengah umat dengan menjadikan oleh-oleh tersebut sebagai media
pendakian spiritual bagi orang-orang beriman, dengan menyatakan bahwa sholat
adalah mi’raj kaum yang beriman. Sementara itu, para kekasih (aulia’)
Allah adalah pasukan mendaki spiritual yang masih berkemas-kemas didalam
rumah.”
C.
Ibnu Taimiyah Sumber Inspirasi Gerakan Neo Sufisme
Ibnu
Taimiyah dilahirkan di Harran, sebuah kota pusat studi filsafat dan basis kaum
shabi’un (pemeluk agama shabi’at) di sebelah utara Irak, [8]
pada hari Senin 10 Rabi’ Al-Awwal 661 H./22 Januari 1263M. [9]
dan wafat di Damaskus pada malam Senin, 20 Dzul Qo’dah 728 H atau 26 September
1328 M. [10] Ia
berasal dari keluarga besar Taimiyah, [11]
sebuah keluarga terpelajar yang dihormati dan disegani oleh masyarakat luas
pada zamannya. Ayahnya Shihabuddin
Abdullah Halim bin Abdussalam (w.682 H atau 1284 M) seorang ulama yang
mempunyai kedudukan terhormat dalam mazhab Hambali. Ia seorang khotib dan Imam
Besar di masjid Agung Damaskus, sekaligus Mu’alim (guru) Tafsir dan Hadits,
serta direktur Madrasah Durul Hadits As-sukkariyyah, sebuah lembagapendidikan
islam mazhab Hambali yang terkenal pada waktu itu. Di lembaga pendidikan inilah
Ibnu Taimiyah dididik menjadi ulama besar.[12]
Kakeknya, Syaikh Majduddin Abu Al-Barakat
Abdussalam bin Abdullah (w.652 H atau 1233 M) seorang ahli Tafsir, hadits,
fiqih, ushul fiqih (kaidah-kaidah pemahaman fiqih), Ilmu Nahwu (dramatikal
bahasa arab), dan seorang pengarang terkenal.[13]
Syaikh Majduddin ini oleh Asy-Syaukani dinilai sebagai mujtahid mutlak.[14]
Ia mengajar ilmu hadits di Irak dan Syiria. Diantara karyanya adalah kitab
Al-Muswaddah fi Ushulil-FIqh dan Muntaqa-ul Akhbar, kumpulan hadits yang
dikomentari Asy-Syaukani dalam Nailul-Authar.[15]
Ibnu Taimiyah, seperti kebiasaan yang
berlaku pada zaman itu, mulai mempelajari agama dengan belajar membaca dan
menghafal Al-QUr’an kemudian mempelajari kitab-kitab hadits. Ia mempelajari kutubus-sittah, Mu jam
’ath-Thabrani, dan membaca musnad Imam Ahmad secara berulang-ulang.[16]
Pengetahuan Ibnu Taimiyah dalam bidang hadits diakui oleh banyak ulama,
sehingga pernah ada yang mengatakan secara berlebihan, “Setiap hadits yang
tidak diketahui oleh Ibnu Taimiyah bukanlah hadits.”[17] Ia belajar
fiqh dan ushul fiqh kepada ayahnya dan belajar tata bahasa arab kepada
Ibnu Al-Qawwi, penulis kitab ‘Iqdul-fara’id.[18]
Pelajaran yang paling diminati oleh Ibnu Taimiyah adalah Tafsir Al-Qur’an. Ia
mendalami bidang studi ini dengan sangat tekun sebagaimana terlihat dalam
penuturannya di bawah ini: [19]
Untuk memahami makna suatu ayat terkadang aku menelaah 100 kitab
tafsir, kemudian memohon kepada Allah agar memberikan pemahaman kepadaku.
Akupun berdo’a, “Wahai Tuhan yang telah memberikan pengetahuan kepada Nabi Adam
dan Nabi Ibrahim, berikanlah pengetahuan kepadaku.” Terkadang, akupun pergi ke
sebuah masjid yang sepia atau tempat lainnya, kemudian aku membenamkan wajah ke
dalam tanah sambil berdo’a, “Wahai Tuhan yang telah memberikan pemahaman kepada
Nabi Ibrahim, berikanlah pemahaman kepadaku.”[20]
Selain di Damaskus, Ibnu Taimiyah pernah menuntut Ilmu di Baghdad
selama 6 tahun.[21]
Diantara guru-gurunya yang terkenal adalah Syamsuddin, Abdurrahman bin Muhammad
bin Ahmad AL-Maqdisi (w.682 H.) , seorang faqih dan hakim agung pertama dari
kalangan mazhab Hambali di Syiria, setelah Sultan Baybars (1260-1277 M.)
mereformasi bidang peradilan.[22]
Muhammad bin Abdul Qawwi bin Badran Al-Maqdisi Al-Mardawi (w. 699 H) , seorang
ahli hadits, fiqh, tata bahasa arab dan mufthi (pemberi fatwa) serta pengarang
terpandang pada zaman itu. [23]Al-Manja’
bin Usman bin As’ad Al-Tanawukki (w. 695 H) dan Muhammad bin Ismail bin Abi
Sa’d AL Syaibani (w. 704 H) yang pertama seorang ahli hadits, fiqh, tafsir, dan
tata bahasa arab ; sedangkan yang kedua adalah seorang ahli hadits, tata
bahasa, sekaligus sastrawan, sejarawan, dan kebudayawan.[24]
Ibnu Taimiyah pun pernah berburu kepada
seorang ahli fiqh perempuan yang terkenal pengetahuan dan keshalehannya, yakni
Zainab binti Makki Al-harrani (w. 688 H/1289 M), [25]
kepada seorang pakar ushul fiqh mazhab Syafi’I, Syamsuddin Al-Ishfahani
Asy-Syafi’I (w. 749 H),[26]
dan kepada seorang ahli fiqh dan hadits, Abdurrahim bin Muhammad AL-Baghdadi
(w.685 H).[27]
Ibnu Taimiyah pun belajar berbagai kitab
Tasawuf seperti kitab Ar-Risalah, AL-Qusyairiyyah karangan imam Al-Qusyairi
(w.437 H/1045 M), kitab Quttul-Qulub fi Mu’amalatil-Mahbub karangan Abu Thalib
Al-Makki (w. 386 H/996 M), Ihya Ulumid-din karangan Imam AL-Ghazali (w.505
H/1111 M), kitab Awariful Ma’arif karangan Syaikh As-Suhrawardi (w.632 H/ 1236
M) seperti tercermin dalam berbagai komentar dan kritik pada tulisannya.
Ath-Thablawi, seorang cendekiawan muslim dari Mesir, bahkan menilai bahwa Ibnu
Taimiyah termasuk seorang Sufi dan ulama yang zuhud. Ia mempunyai perhatian
yang besar terhadap karya-karya para Sufi serta menulis beberapa karangan dalam
bidang Tasawuf, seperti At-Tuhfah Al-Iraqiyyah fil Amalil-Qalbiyyah,
Qaidatul-Mahabbah dan kitabul Istiqomah.[28]
Dengan demikian, Ibnu Taimiyah, menurut Ath-Thablawi, dapat dikelompokan ke
dalam para guru sufi (Masyayikh Ash-Sufiyyah). Namun, ketokohan Ibnu Taimiyah
dalam bidang Tasawuf, banyakk dilupakan orang, baik secara sengaja, maupun
tidak.[29]
Ketika ayahnya wafat pada tahun 682 H/1284
M., Ibnu Taimiyah yang baru berusia 21 tahun menggantikan kedudukan ayahnya
menjadi direktur Madrasah Darul-Hadits As-Sukkariyah. Setahun kemudian, pada 17 April 1285, Ia diangkat menjadi guru
besar Universitas Masjid Agung Al-Ummawi di Damaskus dalam mata kuliah Tafsir
AL-Qur’an yang sebelumnya dijabat oleh ayahandanya. [30]
D.
Pandangan Ibnu Taimiyah tentang Tasawuf
Tasawuf
dalam pandangan Ibnu Taimiyah, merupakan hasil ijtihad dalam menjalankan agama
dengan sebenar-benarnya, bahkan merupakan hasil ijtihad yang tulus untuk taat
kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya, tetapi tidak menutup kemungkinan
adanya unsur-unsur bid’ah (sesuatu yang menyimpang dalam ajaran Al-Qur’an dan
Sunnah) di dalam tasawuf.[31]
Ibnu Taimiyah tidak menolak tasawuf, tetapi juga tidak memandangnya sebagai
satu-satunya jalan atau cara yang terbaik guna menjalankan agama secara
sungguh-sungguh. Ibnu Taimiyah lebih jauh menjelaskan :
Manusia berbeda-beda pendapatnya mengenai jalan yang ditempuh oleh
mereka (kaum Sufi). Satu golongan mencela kaum sufi dan tasawuf. mereka
berpendapat bahwa kaum sufi adalah golongan pembuat bid’ah dan mereka telah
keluar dari As-Sunnah. Golongan lain berlebih-lebihan dalam memuji mereka (kaum
sufi). Mereka menganggap bahwa kaum sufi adalah manusia yang paling utama dan
manusia yang paling sempurna setelah para Nabi. Kedua pandangan ini tercela.
Pandangan yag benar bahwa mereka adalah orang-orang yang berijtihad dalam mentaati perintah Allah
sebagaimana golongan yang lain (ulama fiqh) berijtihad dalam mentaati perintah
Allah (secara lahiri). Diantara mereka yang berbeda pandangan itu ada yang
bergegas dalam kebaikan sesuai dengan ijtihadnya. Ada juga yang bersikap
pertengahan yang termasuk kelompok kanan. Kedua belah pihak berijtihad, maka
diantara keduanya ada yang keliru di dalam ijtihadnya da nada yang berbuat
dosa. Maka taubat merekapun ada yang diterima Allah da nada juga yang tidak
diterima[32]
.[33]
Ibnu Taimiyah memandang bahwa para sufi
termasuk golongan Siddiqin, yakni golongan yang sungguh-sungguh menaati
perintah Allah dan Rasul-Nya sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an :
“Dan barang siapa yang
mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang
yang diberi nikmat kepada Allah; yaitu para Nabi, para Siddiqin, orang-orang yang mati syahid,
dan orang-orang yang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.“ (Q.S
An-Nisa: 69).
Ibnu Taimiyah menempuh jalan tengah dalam
memandang tasawuf dan kaum sufi. Dalam pandangannya, kaum sufi bukanlah
satu-satunya golongan yang termasuk Siddiqin. Para ahli fiqh dan pejabat
pemerintah pun bias menjadi Siddiqin, apabila mereka menjalankan agama dengan
sebenar-benarnya sesuai dengan keahlian dan bidang tugas mereka masing-masing.
Manusia dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan menempuh cara yang
berbeda-beda sesuai dengan bidang, keahlian, dan panggilan jiwanya. Merka dapat
mendekatkan diri dengan menempuh cara zuhud (asketis) dan mencurahkan diri
untuk beribadah; sebagaimana merekapun dapat mendekatkan diri dengan melakukan
pekerjaan-pekerjaan keilmuan dan tugas-tugas pemerintahan. Ibnu Taimiyah lebih
jauh mengatakan:
Seorang
sufi hakikatnya adalah salah satu dari golongan Shiddiqin, yaitu Shidiq dalam
menempuh kehidupan zuhud dan ibadah
sesuai dengan hasil ijtihad mereka. Karena itu, mereka termasuk golongan
Shiddiqin dilihat dari segi pengamalan
jalan (tasawuf) ini: sebagaimana adanya golongan siddiqin dari kalangan ulama
dan umara (pejabat pemerintahan). Golonga shiddiqin dari kalangan sufi, ulama
dan pejabat oemerintahan ini lebih khusus sifatnya dari shiddiqin mutlak, dan
tingkatannya di bawah tingkatan shiddiqin yang sempurna dari kalangan para
sahabat, tabi’in dan tabi’ it-tabi ‘in[34]
. [35]
Selain
itu, Ibnu Taimiyah pun menjelaskan :
Apabila
dikatakan bahwa para zahid (orang0orang yang zuhud) dan para abid (orang-orang
yang rajin beribadah) dari Bashrah adalah Shiddiqin; maka demikian pula dapat
dikatakan bahwa para fuqaha dari Kufah adalah shiddiqin. Masing-masing menempuh
jalan dalam mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya sesuai dengan ijtihadnya.
Ada kemungkinan para sufi dan fuqaha itu termasuk shiddiqin pada zaman mereka,
bahkan termasuk shiddiqin yang paling sempurna pada zamannya. Namun, shiddiqin
pada masa awal jauh lebih sempurna dari mereka. Jadi, golongan shiddiqin itu
bertingkat-tingkat dan bermacam-macam. Pada masing-masing mereka terdapat ahwal
dan ibadah yang mereka lakukan secara sungguh-sungguh, sempurna, dan dengan
memusatkan perhatian kepadanya. Sungguhpun demikian, dapat saja orang lain yang
bukan sufi dan bukan fuqaha lebih sempurna dan lebih utama ahwal dan ibadahnya
dari merka [36]. [37]
Tasawuf dan fikih dalam pandangan Ibnu
Taimiyah merupakan hasil ijtihad para ulama. Ketika terjadi pertentangan antara
kaum fikih yang menekankan orientasi keagamaan eksoteris (lahiri) dengan kaum
sufi yang menekankan orientasi keagamaan esoteric (batini), Ibnu Taimiyah dapat
berdiri diantara keduanya secara adil. Pertentangan antara orientasi eksoteris
kaum fikih dengan orientasi esoteric kaum sufi, menurut Ibnu Taimiyah,
menyerupai pertentangan kaum Yahudi dan Nasrani sebagaimana tergambar pada ayat
Al-Qur’an berikut:
“Kaum Yahudi berkata: ‘Orang-orang Kristen itu tidak ada apa-apanya’ Dan orang Kristen juga berkata: ‘Orang-orang yahudi itu tidak ada apa-apanya’. Padahal mereka [sama-sama] membaca Kitab Suci … “ (QS. Al-Baqarah (2): 113)
Demikian pula, menurutnya, pertentangan
antara kaum sufi dengan para fuqaha. Polemik dan kontroversi diantara keduanya
tidak dapat dihindari. Kaum sufi menolak fenomena keagamaan fuqaha[38]
yang menghabiskan usia untuk mempelajari ‘ilmu-zhahir (ilmu lahiriah) dan
menghafal buku-buku fikih; sementara kaum Sufi menyatakan bahwa mereka telah
memperhatikan ruhul-amal (jiwa amaliah) dengan mendalami hakikat pengetahuan
tentang Tuhan (haqa ‘iqul-ma’rifah) dan telah sampai kepada-Nya dengan
perjuangan (al-mujahadah) dan keikhlasan daam beribadah, serta merasa telah
berhasil mendapatkan ilmu secara langsug dari Allah. Merka menuduh para fuqaha
telah mengambil ilmu yang mati dari orang-orang yang mati; sedangkan kaum sufi
telah mengambil Ilmu dari yang Maha Hidup yang tidak pernah mati. [39]
Usaha untuk mengintegrasikan tasawuf dan
fikih telah dirintis oleh Abu Al-Qasim Al-Qusyairi (w. 465 H. 1086 M.) Kemudian
dikembangkan lebih matang oleh Abu Hamid Al-Ghazali (w.505 H./1111 M.) sehingga
terpadulah corak orientasi keberagamaan lahiri dan batini itu dalam suatu
simponi yang indah sebagaimana terlibat dalam kitabnya yang terkenal Ihya
‘Ulumid-Din. Corak tasawuf ini kemudian dikenal sebagai tasawuf sunni, yakni
tasawuf yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. [40]
Dalam pada itu, Ibnu Taimiyah
menggambarkan pertentangan antara kaum sufi dengan fuqaha itu dengan imbang dan
memberikan penilaian secara objektif. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah mengatakan:
“Anda
mendapati bahwa banyak kaum fikih, jika melihat kaum sufi dan orang-orang yang
terus menerus beribadah, akan memandang mereka tidak ada apa-apanya, dan tidak
merka perhitungkan kecuali sebagai orang-orang yang bodoh dan sesat, sedangkan
mereka tidak berpegang sedikitpun kepada ilmu dan kebenaran. Dan Anda juga akan
mendapati banyak kaum sufi serta orang-orang yang menjalani kehidupan asketis
tidak menganggap apa-apa kepada syari’at dan ilm (hukum); bahkan mereka
menganggap bahwa orang yangberpegang kepada syari’at dan ilmu (hukum) itu
terputus dari Allah. Para penganutnya tidak memiliki apa-apa yang bermanfaat di
sisi Allah.” [41]
Ibnu Taimiya tidak menyalahkan salah satu
daari keduanya. Juga tidak merendahkan kaum sufi, sekalipun ia sebagai penganut
mazhab hambali, sangat berpegang kepada segi-segi eksoteris agama islam. Ibnu
Taimiyah ingin mengembalikan orientasi keagamaan pada teladan Nabi Muhammad
Saw. Ia memaparkan pandangannya dengan menempuh jalan tengah yang tegas. Ia
berpendapat, “Yang benar adalah apapun yang berdasarkan Kitab dan Sunnah pada
kedua belah pihak adalah benar. Dan apapun yang bertentangan dengan Kitab dan
Sunnah pada kedua belah pihak adalah batil.”[42]
Pendapat bahwa tasawuf merupakan hasil
ijtihad, tidak hanya datang dari Ibnu Taimiyah, terapi juga berasal dari
kalangan sufi sendiri. Abu Nashr ‘Abdullah bin ‘Ali bin Muhammad bin Yahya
As-Sarraj (w.378 H/988 M.) mengakui adanya segi-segi dirayah (penalaran) pada
ilmu batin, di samping segi-segi riwayah yang berasl dari Al-Qur’an dan Sunnah.
[43]Adanya
segi dirayah pada ilmu batin, menurut hemat penulis, merupakan ungkapan lain
untuk menyatakan adanya faktor ijtihad dalam tasawuf.
Ibnu Taimiyah tidak hanya mengembangkan
jalan tengah dalam memandang tasawuf sbagai kegiatan ijtihad, tetapi juga telah
menempatkan tasawuf dalam struktur ajaran islam secara proporsional. Dalam
pandangannya, amaliah kesufian itu merupakan pangamalan ajaran Islam yang
bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah. Ia menyebut amaliah kesufian itu dengan
istilah a’malul-qulub (pekerjaan-pekerjaan hati) atau al-a’mal al-bathinah
(pekerjaan-pekerjaan batin)[44],
sedangkan para sufi menamakannya al-maqamat dan al-ahwa.
Pekerjaan-pekerjaan hati seperti ini
mencintai Allah dan Rasul-Nya (mahabbatullah wa rasulu), tawakkal kepada Allah,
ikhlas dalam beragama kepada-Nya, bersyukur (asy-syukru) kepada-Nya, bersabar
(ash-shabru) dalam menjalankan hukum Allah khawatir atas murka Allah
(al-khauf); penuh harap (ar-raja’) atas rahmat-Nya, semua itu merupakan prinsip
keimanan (ushulul-iman) dan dasar-dasar agama (qawa dud-din) yang diperintahkan
Allah.[45]
Menurutnya, a’malul qulub yang oleh sebagian kaum sufi dinamakan ahwal da
maqamat atau manazilus-sa ‘irin ilallah (tahapan mereka yang kembali kepada
Allah) atau dinamakan pula maqamatul-‘arifin, merupakan persoalan yang
diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya sebagai manifestasi keimanan yang wajib
diusahakan.[46]
E.
Gerakan Neo-Sufisme
Gerakan pemurnian tasawuf di zaman modern
dikenal dengan neo-sufisme atau tasawuf baru. Neo-sufisme secara bahasa
berarti konsep, sikap, dan perilaku pengamal tasawuf kotemporer. Neo-sufisme
adalah corak tasawuf yang bersifat tajdid, pembaharuan konsep, cara
pandang, dan pengamalan tasawuf dari segala unsure bid’ah, khurafat dan takhayul. Neo-sufisme juga berwatak rformasi atau pemurnian dari unsure-unsur
luar Islam. Tujuan neo-sufisme memurnikan tasawuf konsep dan amaliyah agar
sejalan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Jadi, yang dimaksud dengan
neo-sufisme atau tasawuf baru adalah tasawuf yang sejalan dengan Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi Saw. Dinamakan neo-sufisme atau tasawuf baru karena gerakan ini
muncul di zaman modern yang sesungguhnya telah dirintis sejak para ulama salaf,
yakni Imam Malik bin Anas.
Menurut Nurcholis Madjid, neo-sufisme
merupakan sebuah esoterisisme atau penghayatan keagamaan batini yang menghendaki
hidup aktif dan terlibat dalam masalah-masalah kemasyarakatan. Sesekali
menyingkiran diri (‘uzlah ) mungkin ada baiknya, tetapi hal itu
dilakukan untuk menyegarkan kembali wawasan dan meluruskan pandangan yang
kemudian dijadikan titik tolak untuk pelibatan diri dalam aktivitas segar lebih
lanjut. Sementara itu, Buya Hamka meyebut tasawuf yang senada dengan pandangan
neo-sufisme itu dengan istilah tasawuf modern. Dengan diawali penolakan
terhadap konsep zuhud yang membenci dunia, Hamka menjelaskan “ kita namai
tasawuf menurut maksud aslinya, sebagaimana dikatakan Junaid Al-Baghdadi, yaitu
keluar dari budi pekerti yang tercela dan masuk kepada budi pekerti yang
terpuji. Dengan kata modern, kita tegakan kembali maksud semula dari tasawuf,
yaitu membersikan jiwa, mendidik, dan mempertinggi derajat budi, menekan segala
kelobaan dan karakusan, dan memerangi syahwat yang terlebih dari keperluan
untuk kesentosaan diri.”
F.
Ciri Umum Gerakan Neo-sufisme
Secara
singkat Neo-sufisme memiliki cirri-ciri umum sebagai berikut:
·
Tasawuf
dipahami sebagai kekuatan ruhani islam yang membentuk pola fikir, pola sikap,
dan etos amal saleh kaum Muslimin dengan lima kualitas kerja, yaitu bekerja
iklas, bekerja cerdas, bekerja keras, bekerja tuntas, dan bekerja berkualitas.
·
Mengamalkan
tasawuf dipahami dan dilakukan sebagai
usaha mengembangkan kepribadian Muslim, yaitu membentuk pribadi yang memiliki
keyakinan atau akidah yang lurus, memiliki jiwa yang bersih, memiliki budaya
amal yang iklas, dan memiliki sifat peduli terhadap problematika social yang
dihadapi Islam dan kaum Muslimin danlam konteks kehidupan modern.
·
Menempatkan
amaliah dzikir, wirid, dan ‘ulzah, yakni keputusan untuk menarik diri
dari kehidupan social dengan melakukan khalwat atau menyepi di tempat yang
sunyi untuk sementara waktu guna beribadah, berdzikir, melakukan wirid dan
memperbanyak doa kepada Allah, serta melakukan renungan (muroqabah ) dan
evaluasi diri secara proposional. Ketiganya sewaktu-waktu diperlukan guna
memperkuan ruhani, menguatkan orientasi hidup dan kehidupan yang seimbang,
serta memperkuat tanggung jawab social. Dzikir dan wirid diperlukan gina
menyucikan jiwa, mendekatkan diri kepada Allah, dan melatih emosi agar dapat
merasakan kehadiran Allah dalam kehidupan ini. Namun, buah dari dzikir itu diorientasikan
guna menumbuhkan integritas moral dan tanggung jawab social.
G.
Neo-Sufisme Fenomena Islam Modern
Buya Hamka
menyebut Neo-Sufisme atau tasawuf baru dengan istilah modern.[47]
Salah satu fenomena paling menonjol dalam kehidupan dan perkembangan tasawuf
dan tarekat dimasa modern adalah semakin meningkatnya pertumbuhan Neo-sufisme.
Menurut para pengamat tasawuf, seperti O’Fahey dan Beernd Radtke, dua sarjana
Eropa ahli tasawuf, Neo-sufisme merupakan gejala abad ke-19 dan abad ke-20.[48]
Neo-sufisme sesungguhnya sudah muncul jauh sebelum abad ke-19 dan abad ke-20.
Neo-sufisme muncul dari dinamika
internal umat islam yang menyadari perlunya melakukan harmonisasi antara
fiqih dan tasawuf dalam landasan aqidah yang kokoh. Akar dan asal gerakan
Neo-sufisme bisa dilacak pada pemikiran ulama klasik seperti terlihat pada
corak tasawuf Junaid AL-Baghdadi, Al-Muhasibi, Al-Kusyairi dan Al-Ghazali.
Namun, corak tasawuf Ibnu Taimiyah dan Ibnu qoyim Al-Jauziyah yang bermadzhab
Hambali, sebagaiman dijelskan diatas, sangat mewarnai gerakan Neo-sufisme.
Istilah
Neo-sufisme pertama kali diperkenalkan oleh Fazlur Rahman (1919-1988), guru
besar pemikiran islam pada Universitas Chicago, Amerika Serikat. Rahman
menggunakan istilah Neo-sufisme untuk melukiskan tendensi terjadinya semacam
revormasi tasawuf yang memunculkan apa yang disebutnya revormed Sufism (
tasawuf yang telah diperbaharui ).[49]
Spirit yang menjiwai Neo-sufisme adalah seorang tasawuf yang bersifat
pembaharuan ( tajdid), pemurnian dan revormasi dari unsure-unsur bid’ah
yang berasal dari luar islam. Tujuan Neo-sufisme adalah memurnikan tasawuf,
baik pada tataran konsep maupun amaliyah agar tasawuf menjadi bagian dari
ajaran islam dan sejalan dengan al-qur’an dan sunah Nabi Saw.[50]
Dalam
pandangan Neo-sufisme, pertama, tasawuf dipahami sebagai kekuatan rohani
islam yang membentuk pola fikir, pola sikap, dan etos amal soleh kaum muslimin.
Kedua, bertasawuf berarti mengembangkan kepribadian muslim. Pandangan
Neo-sufisme yang menghubungkan tasawuf dengan pengembangan kepribadian muslim
sejalan dengan pandangan Hasan Al-Bahri ( w. 110 H / 722 M ) yang berpendapat
bahwa orang yang bertasawuf adalah orang beriman yang :
1.
Berhasil
melakukan sholat dengan khusyuk’;
2.
Senatiasa
melakukan sholat berjamaah awal waktu.
3.
Bertuturkata
dengan baik, indah, dan sejuk hingga menjadi penawar qalbu.
4.
Ketika
diam ia berfikir.
5.
Wawasan
pengetahuannya luas penuh makna.
6.
Senantiasa
bergaul dengan para ulam sehingga menumbuhkan minat dan perhatian yang mendalam
terhadap ilmu.
7.
Kebahagiaan
dan kepuasan batiniah muncul ketika ia berbuat baik kepada sesama umat manusia.
8.
Ketika
merasa bersalah kepada allah segera beristighfar, memohon ampun kepada Nya,
sehingga tidak pernah berlalu perasaan bersalah tanpa istighfar.
9.
Jika
diperlakukan buruk oleh seseorang, ia berhasil mengendalikan emosi sehingga
tidak cepat marah.
10.
Jika
dianiaya, ia bersikap sabar terhadap segala bentuk penganiayaan tersebut,
sementara jika dijahati, ia bersikap adil terhadap orang yang berbuat jahat
kepadanya.
11.
Tidak
berlindung kepada selain allah dan tidak memohon kecuali kepada Nya.
12.
Seseorang
yang bertasawuf memilik aqidah yang lurus, jiwa yang bersih, amal yang ikhlas,
dan sikap yang peduli terhadap problema social dan masalah keumatan.[51]
Ketiga, Neo-sufisme menempatkan amailiah dzikir, wirid, ‘uzlah, khalwat,
dan muraqabah secara proporsional. Dzikir dan wirid diperlukan guna menyucikan
jiwa, mendekatkan diri kepada Allah, dan melatih emosi agar dapat merasakan
kehadiran Allah dalam hidup ini dan buah dzikir itu diharapkan dapat
menumbuhkan integritas moral dan tanggung jawab sosial. Dalam pandangan
Neo-sufisme, ‘uzlah atau menarik diri dari kehidupan sosial diperlukan agar
dapat mengevaluasi dirinya dalam berbagai pelibatan sosial yang dilakukan
secara kritis. Demikian juga khalwat atau menyepi ditempat yang sunyi untuk
ibadah, dzikir, wirid, dan doa. Semua itu dilakukan untuk memperkuat
kepribadian dirinya sebagai seorang muslim sebagaiman diidentifikiasi oleh
Hasan Al-Bashri diatas. Sementara itu, muraqabah atau melakukan renungan dan
evaluasi diri sewaktu-waktu diperlukan agar bias memotret dirinya secara utuh,
melihat kelebihannya sekaligus memahami bagian-bagian terpenting dari
kekurangannya. Ketiganya, ‘uzlah, khalwat dan muraqabah diperlukan untuk
memperkuat kepribadian seorang muslim, kemudian dengan kekuatan ‘uzlah, khalwat dan muraqabah tersebut
kembali kepada kehidupan keseharian dan tanggung jawab sosial sebagai seorang
muslim.[52]
Fazlur Rahman (
w. 1988 M.), sarjana yang sangat mendalami pemikiran Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayim Al-Jauziyah (w. 751 H ), menyebut kedua
tokoh klasik itu sebagai perintis apa yang ia namakan Neo-sofisme. Sufisme baru
ini, menurut Rahman, mempunyai ciri utama berupa penekanan terhadap motif moral
dan penerapan metode dzikir dan
muraqabah atau konsentrasi keruhanian guna mendekatkan diri kepada Allah.
Sasaran danisi konsentrasi itu disejajarkan dengan doktrin salafi dan bertujuan
untuk meneguhkan keimanan kepada akidah yang benar dan kemurnian moral dan
jiwa. Gejala yang dapat disebut sebagai neo-sufisme ini mempunyai kecenderungan
untuk menghidupkan kembali aktivisme salafi dan menanamkan kembali sikap
positif terhadap dunia.[53]
Dalam makna
inilah kaum Hambali, pengikut Imam Ahmad bin Hambal ( w. 241 H./885), seperti
Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayim Al-Jauziyah sekalipun sangat memusuhi sufisme
popular, jelas merupakan kaum neo-sufisme. Keduanya, bahkan menjadi perintis
kearah kecenderungan ini. Selanjutnya, kaum neo-sufisme juga mengakui sampai
batas tertentu, kebenaran pengakuan para sufi intelektual bahwa mereka menerima
kasyf , yakni pengalaman penyingkapan kebenaran Ilahi. Namun, menolak
pengakuan mereka bahwa para sufi dengan pengalaman kasyf itu seolah-olah ma’shum, tidak dapat
disalahkan. Sebaliknya, kaum neo-sufisme menekankan bahwa kehandalan kasyf sebanding lurus dengan kebersihan moral dan
kesucial kalbu, yang sesunggguhnya
mempunyai tingkatan-tingkatan. Baik Ibnu Taimiyyah maupun Ibnu Qayim
Al-Jauziyah mengaku pernah mengalami kasyf itu sendiri. Akan tetapi, pengalaman kesufian
itu dibawa kepada tingkat intelektual yang sehat. Ibnu Taimiyah mencoba
memasukan etos salafi dan makna moral yang puritan ke dalam keseluruhan
terminology kesufian tersebut.[54]
Sementara
menerut Nurcholis Madjid, neo-sufisme merupakan sebuah esoterisisme atau penghayatan
keagamaan batini yang menghendaki hidup aktif dan terlibat dalam
masalah-masalah kemasyarakatan. Sesekali menyingkirkan diri (‘uzlah) mungkin ada baiknya, tetapi hal itu dilakukan
untuk menyegarkan kembali wawasan dan meluruskan pandangan yang kemudian
dijadikan titik tolak untuk melibatkan diri dalam aktivitas sosial lebih
lanjut.[55]
Dalam pada itu,
Hamka menyebut tasawuf yang senada dengan pandangan neo-sufisme itu dengan
istilah tasawuf modern sebagaimana sudah disebutkan diatas. Dengan diawali penolakan
terhadap konsep zuhud yang membenci dunia, Hamka menjelaskan bahwa kita namai
tasawuf menurut maksud aslinya, sebagamana dikemukakan Junaid Al-Baghdadi,
yaitu keluar dari budi pekerti yang tercela dan masuk kepada budi pekerti yang
terpuji. Dengan kata modern, kita tegakan kembali maksud semula dari tasawuf,
yakni membersihkan jiwa, mendidik, dan mempertinggi derajat budi, menekan
segala kelobaan dan kerakusan, dan memerangi syahwat yang terlebih dari
keprluan untuk kesentosaan diri.[56]
Demikianlah sekilas
tentang akar dan asal neo-sufisme yang selama ini cukup berkembang didunia
islam, termasuk di Indonesia. Sebuah corak tasawufyang dihubungkan dengan corak
tasawuf yang dihubungkan dengan corak tasawuf Ibnu Taimiyah yakni tasawuf dalam
bingkai syariat islam yang menekankan usaha untuk membersihkan jiwa, mendidik,
dan mempertinggi derajat budi, menekan segala kelobaan dan kerakusan dan
memerangi syahwat yang bertujuan untuk meneguhkan akidah, mengokohkan keimanan,
memurnikan jiwa, dan mempertinggi moral.
DAFTAR PUSTAKA
Tasawuf
Menjawab Tantangan Global – Dr. H. Asep Usman Ismail, MA.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Gerakan pemurnian Tasawuf dimulai sejak adanya indikasi pemisahan
pengmalan Tasawuf dari pengamalan Syariat. pemisahan tersebut disebabkan adanya
pertentangan antara orientasi tasawuf dan orientasi fiqih, kaum sufi sebagai
pengamal tasawuf menolak fenomena keagamaan yang di anut oleh para fuqaha atau
ahli fiqih, yang menurut mereka para fuqaha telah menghabiskan banyak waktu
untuk mempelajari ilmu lahiriah saja sedangkan kaum sufi mengklaim bahwa mereka
telah memperhatikan subtansi amaliah dengan mendalami hakikat pengetahuan
tentang tuhan. Para sufi mengaku telah
berhasil mendapat ilmu secara langsung dari Allah Yang Maha Hidup dan tiada
pernah mati , sedangkan mereka menganggap para fuqaha hanya mengambil ilmu yang
mati dari orang-orang yang telah mati.
Gerakan
pemurnian Tasawuf yang di rintis oleh para ulama salaf dimulai dengan gerakan
memadukan fiqih dengan tasawuf yang diawali oleh Imam Malik bin Anas (w. 179 H
). Beliau seorang ulama fiqih (faqih), Mujtahid dan Imam Madzhab, seorang yang
berpengetahuan luas ( ‘alim ) dan termasuk salah seorang sufi atau pengamal
Tasawuf. Imam malik berujar, “ man tashawwafa walam yatafaqqah faqadh
tazandaqa (siapa yang mengamalkan tasawuf tanpa dilandasi pemahaman fiqih,
maka sungguh ia telah menyimpang).”
Imam Malik
memperkuat ketokohan dirinya dalam bidang fiqih dan tasawuf dengan melahirkan
dua langkah operasional. Pertama, menekankan pentingnya mempelajari fiqih
sebelum mempelajari tasawuf agar tidak menjadi Zindiq (kelompok yang
menyimpang dalam agama ). Kedua, keyakinan beliau bahwa pengetahuan yang
sejatinya atau al-hikmah adalah nur
yang ditiupkan Allah kedalam kalbu.
B.
Saran
Dalam
mempelajari ilmu tentang pemurnian tasawuf ini, kita harus terlebih dahulu
mengetahui dasar dari permasalahan tersebut. Seperti yang telah dijelaskan di
dalam makalah ini, bahwa akar dari pemurnian tasawuf tertanam kokoh ajaran
islam yang terdiri atas akidah syariah dan ahlak. Ketiganya bisa dibedakan,
tetapi tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan seseorang muslim. Kita juga harus
memahami bahwa gerakan pemurnian Tasawuf yang di rintis oleh para ulama salaf
ini, dimulai dengan gerakan memadukan fiqih dengan tasawuf yang diawali oleh
Imam Malik bin Anas, seorang ulama fiqih (faqih), Mujtahid dan Imam Madzhab,
seorang yang berpengetahuan luas ( ‘alim ) dan termasuk salah seorang sufi atau
pengamal Tasawuf.
Untuk lebih
memahami tentang pemurnian tasawuf ini, kita juga harus mengetahui
pendapat-pendapat para ulama. Seperti pendapat Ibnu Taimiah, yang tidak lain
adalah sumber inspirasi dari gerakan Neo-sufisme. Selain itu, kita juga perlu
mencari tahu riwayat ulama tersebut beserta definisi dari gerakan Neo-sufisme
itu sendiri untuk menyempurnakan informasi dan detail penjelasan dari
permasalahan tentang pemurnian tasawuf ini.
[1]
Nurcholis Madjid, Disiplin Keilmuan Islam Tradisional: Tasawuf (Letak dan
Peran Mistisme Dalam Penghayatan
Keagamaan Islam), (Jakarta: Makalah Klub Kajian Agama Seri KKA 23
Tahun II/1998), h.9-10
[2]
Ibnu Taimiyah, Iqtidha ‘ush-Shirath Al-Mustaqim, (Beirut: Darul Fikr,
t.t), h.
[4]
Ibnu Khaldun, “Syifa ‘ul-Masa’il li Tahdzibil-Masa’il, dalam ‘Abdul Qadir
Mahmud, Al-Falsafat Ash-Shufiyyah fil-Islam. (Kairo: Darul Fikr Al-‘Arabi,
1966), h.92.
[5] A.Q. Mahmud, Falsafatush-Shufiyyah fil Islam,
h.92-93.
[6] Ibid, h.93
[7] Abu Hamid Al-Ghazali, Faishalut-Tafarruqah
bainal-Islam wa Zindiqah, (Beirut: Al-Maktab Al-Islami, 1390), h.6.
[8]
Muhammad Abu Zahrah, Ibnu Taimiyah: Hayatuhu wa ‘Ashruhu, Ra’yuhu wa Fiquhu,
(Darul Fikr Al-Arabi, [t.t]) h.17
[9] Nama lengkap Ibnu Taimiyah
[10]
Ibnu Katsir (Muhammad bin Isma’il), Al-Bidayah wan-Nihayah, jilid IX juz
14, (Libanon: Darul Fikr, [t.t]), h.136
[11]
Mengenai asal usul nama Taimiyah
[12]
Muhammad Abu Zahrah, Ibnu Taimiyah: Hayatuhu wa ‘Ashruhu, Ra’yuhu wa Fiqhuhu,
(Darul Fikr Al-Arabi [t.t]) h.17
[13]
Sa’d Shadiq Muhammad, Ibnu Taimiyah Imam As-Saif wal-Qalam, (Kairo: Al-Majlis
Al-A’la li Asy-syu’un Al-Islamiyyah, [t.t]), h.10.
[14]
Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin ‘Abdullah Asy-syaukani, Nailul Authar Syarh
Muntaqa ‘ul-Akhbar min Ahadits Sayyid Akhbar, juz 1 (Mesir: Musthafa Al-Babi
Al-Halabi, [t.t]), h.21.
[15]
Victor E, makari, Ibnu Taimiyah Ethics: The School Factor, (Chico,
California, Scholar Press, 1983), h.21.
[16] Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdul
hadi, Al-‘Uqud Ad-Duriyah fi Manaqib Syaikhil-Islam Ibni Taymiyah, (Beirut:
Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah [t.t]), h.3
[17]
‘Abdul Aziz Muhammad As-Saliman, Al-Kawasyif Al-jaliyyah ‘an Ma’any Al
Washithiyah, (Riyadh: Ri’asat Idarah Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’ wa
ad-Da’wah wa Al-Irsyad, 1402 H./1982 M.), h.7
[18]
Ibid, h.7
[19]
Abu Al-hasan ‘Ali An-Nadwi, Hayatu Syaikhil-Islam Al-Hafihz Ibni Taymiyah,
(Kuwait: Darul Qalam, 1975), h.33
[20]
Dalam bahasa arab
[21]
Sa’d Shadiq Muhammad, Ibnu TaymiyahImam As-saif wa;-Qalam, (kairo: Al-Majlis
Al-A’la li Asy-syu’un Al-Islamiyyah, [t.t]), h.10
[22]
Bernard Lewis, et, all, ed, The encyclopedia of Islam, jilid III,
(Leiden:E.J. Brill, 1979), h. 951
[23]
Shalih bin ‘Abdul Aziz ‘Ali Manshur, Ushul Fiqh wa Ibnu Taymiyah, juz 1,
([t.p], [t.t], 1980), h.80-81.
[24]
Ibid. h.81-82 dan h.80-85
[25]
Khairuddin Az-Zirikli, Al-A’lam: Qamus Tarajum li Asyharir-Rijal wan Nisa minal
A’rab wal-Musta’ribin wal’Mustasyriqin, juz III, (Darul ‘Ilmi Al-Malayin,
1980), h.67.
[26]
Nama lengkapnya Mahmud bin ‘Abdurrahman
bin Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr bin ‘Ali.
[27]
Shalih bin ‘Abdul Aziz ‘Ali Manshur, Ushulil Fiqh wa Ibni Taymiyah, juz 1,
([t.p], [t.t], 1980), h. 83
[28]
Ath-Thablawi Mahmud S’ad, Ath-Tashawwuf
fi Turats Ibni Taymiyah, (Al-Hai’at Al-Mishriyyah Al-Ammah lil kitab, 1984),
h.31
[29]
Ibid, h.18
[30]
Bernard Lewis, et, all, ed., The Encyclopedia of Islam, jilid III,
(Leiden: E.J. Brill, 1979), h.951.
[31]
Ibnu Taymiyah, Majmu Fatawa Syaykhil-Islam Ibni Taymiyah, jilid 10, (ed)
Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim Al-hambali An-Nadji (Beirut:
Darul-‘Arabiyyah, 1398 H.), h.14-15
[32]
Ibnu Taymiyah, Majmu fatawa, jilid XI,
(Beirut: Darul ‘Arabiyyah, 1398 H.), h.17-18.
[33]
Dalam bahasa arab
[34]
Ibnu Taymiyah, Majmu Fatawa, jilid XI,
(Beirut: Darul ‘Arabiyyah, 1398 H.), h.17
[35]
Dalam bahas arab
[36]
Ibnu Taymiyah, Majmu Fatawa, jilid XI,
(Beirut: Darul ‘Arabiyyah, 1398 H.), h.17
[37]
Dalam bahasa arab
[38]
Ibnu Taimiyah, Iqtidha ‘ush-Shirath
Al-Mustaqim, (Beirut: Darul Fikr, t.t) h.10.
[39]
Husain Mu’nis, ‘Alal-Islam, (Kairo: Darul Ma’arif bi Mishra, 1973), h.227.
[40]
Ibrahim Madikur fil falsafah Al-Islamiyyah Al-Manhaj wa Thatbiquhu,
jilid II, (kairo: Darul Ma’arif bi Mishra, t.t), h.69-70.
[41]
Ibnu Taimiyah, Iqtidha ‘ush-Shirath
Al-Mustaqim, (Beirut: Darul Fikr, t.t) h.10.
[42]
Ibid.
[43]
As-Sarraj, Al-Lumma, (Mesir: Darul
Mishriyyah, 1960) h.23
[44]
Ibnu Taimiyah, At-Tuhfah Al-‘Iraqiyyah
fi A’ma Al-Qulub, Abu Abdurrahman Al Hamdi, cet 1, (Riyadh, Dar Zamzam 1414 H,
1993) h.22.
[45]
Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa, jilid X,
(Beirut: Darul ‘Arabiyyah, 1398 H.), h.5-6.
[46]
Ibid
[47]
Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), h.6-7.
[48]
Azyumardi Azra, “Tasawuf dan tarekat”,
Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, jilid VI, (Jakarta: PT Ichtiar Baru
van Hoeve, 2001), h.378.
[49]
Ibid
[50]
Azyumardi Azra dan Asep Usman Ismail, “Pengantar
Dewan Redaksi”, Ensiklopedia Tasawuf. (Bandung: Penerbit Angkasa Bandung,
20080, h.xiv
[51]
Azyumardi Azra dan Asep Usman Ismail, “Hasan
Al-Bashri, Ensiklopedia Tasawuf, jilid I, (Bandung: 2008), h.461-462
[52]
Azyumardi Azra dan Asep Usman Ismail, “Pengantar
Dewan Redaksi”, Ensiklopedia Tasawuf. (Bandung: Penerbit Angkasa Bandung,
20080, h.xiv
[53]
Fazlur Rahman, “Islam”, terj. Ahsin
Mohammad, Islam Fazlur Rahman, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1404 H./1984
M.), h.285
[54]
Ibid, h.285
[55]
Nurcholish Madjjid, ”Neo Sufisme” dalam Islam
Agama Peradaban: Membangun Makna Islam dalam Sejarah, (ed) Muhammad Wahyuni
Nafis, (Jakarta: Paramadina, 1995), h.103
[56]
Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1990), h.6-7.
Posting Komentar