Ujian Akhir Semester (UAS) Mata Kuliah Sistem Komunikasi Internasional
Konsenterasi Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
JURNALISME ISLAM
Jurnalistik
atau journalisme berasal dari
perkataan journal, artinya catatan
harian, atau catatan mengenai kejadian sehari-hari, atau bisa juga berarti
suratkabar. Journal berasal dari
perkataan Latin diurnalis, artinya
harian atau tiap hari. Dari perkataan itulah lahir kata jurnalis, yaitu orang
yang melakukan pekerjaan jurnalistik. MacDougall menyebutkan bahwa journalisme adalah kegiatan menghimpun
berita, mencari fakta, dan melaporkan peristiwa.
Sedangkan jurnalisme Islam, dapat
dimaknakan sebagai suatu proses meliput, mengolah dan menyebarluaskan berbagai
peristiwa dengan muatan nilai-nilai Islam, serta berbagai pandangan dengan
perspektif ajaran Islam kepada khalayaknya. Jurnalisme Islam dapat pula
dimaknai sebagai proses pemberitaan atau pelaporan tentang berbagai hal yang
sarat dengan muatan dan sosialisasi nilai-nilai Islam dengan mengedepankan
dakwah Islamiyah.”
Definisi
lainnya adalah; “...jurnalisme
Islam sarat dengan tuntutan dakwah yang mengemban misi ‘amar ma’ruf nahi
munkar.’ Jurnalisme Islam adalah upaya dakwah Islamiyah, karena jurnalisme Islam
bermisi ‘amar ma’ruf nahi munkar,’ maka ciri khasnya adalah menyebarluaskan
informasi tentang perintah dan larangan Allah SWT. Jurnalistik ini berusaha
keras untuk memengaruhi komunikasi/khalayaknya agar berperilaku sesuai dengan
ajaran Islam.”
Jalaluddin Rahmat menyebut
jurnalis Islam sebagai al-Qalam dan sebagai pemahat yang mengabadikan peristiwa
dan pandangan umat manusia (news and views). Ia mengutip pendapat Ali bin Abi
Thalib bahwa tulisan adalah tanaman para ulama sebagai media digunakan oleh
para ulama dalam perkembangan Islam. Menurutnya Imam al-ghazali adalah jurnalis
dalam Ikhya ulum al-Din. Imam Ghazali
menceritakan ulama di zamannya dan at-Thabari yang merekam seluruh peristiwa
sejak nabi Adam as sampai peristiwa di zamannya dalam Tarikh Al-Umam Wa Al-Mulk.
Beberapa peran
dan tugas para jurnalis Islam yang penting antara lain:
1.
Mendidik
masyarakat Islam (ta’dib al-ummah)
Mendidik umat
yang dimaksud di sini adalah dalam pengertian yang luas, yakni membina
peradaban umat atau menjadikan umat menjadi beradab sehingga terbentuklah
masyarakat madani (berperadaban).
2.
Mencari
dan menggali informasi/pengetahuan serta memberi dan menyebarkan informasi
(ta’lim) yang benar dan bermanfaat
Peran para
jurnalis muslim, sebagaimana juga para ulama Islam dalam mencari dan menggali
informasi atau ilmu pengetahuan untuk kemudian menyebarkan atau menyampaikannya
kepada masyarakat. Secara eksplisit (tersurat) maupun implisit (tersirat) hal
ini diungkap dalam beberapa ayat kitab suci Al-Qur’an berikut ini:
“Ajaklah (manusia) ke jalan Tuhan-mu dengan hikmah
dan pelajaran yang baik, dan bentaklah mereka dengan cara yang baik pula.
Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat
dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui tentang orang-orang yang
mendapat petunjuk,” (QS
An-Nahl [16] : 125).
3.
Melakukan
seleksi, filterisasi dan chek and rechek (tabayyun) terhadap berbagai informasi global untuk membentengi umat
Islam dari pengaruh buruk informasi (fitnah)
global
Tidak semua
informasi yang ada itu baik, benar dan bermanfaat bagi setiap individu dan umat
Islam. Informasi yang bersifat fitnah, hasud, atau dakwah syaitaniyah (seperti
kemaksiatan, pornografi, kefasikan, kemusyrikan dan khurafat) harus diteliti
dan dicekal agar tidak menyebar di kalangan umat Islam. Fungsi penelitian,
penyaringan dan pemilihan informasi ini, dikenal dengan istilah tabayyun
sebagaimana yang disebutkan Allah Swt. dalam ayat berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu
orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu
tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mangetahui keadaan yang
sebenarnya, yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu,” (QS Al-Hujurà t [49] : 6).
4.
Mengajak
dan menasihati umat dengan cara yang baik untuk mengikuti jalan hidup Islam
yang diridhai Allah (dakwah ilallâh)
Dakwah Islamiah
adalah mengajak umat manusia untuk mengikuti dan mengamalkan ajaran Islam.
Dengan cara persuasi dan argumentasi yang baik melalui tulisannya di media
massa, seorang jurnalis Muslim juga mempunyai peran dan kewajiban dakwah di
jalan Allah, baik secara halus, samar dan tersirat (implisit), maupun secara
terang-terangan (eksplisit). Strategi, taktik, dan teknik-teknik psikologi
komunikasi yang baik dapat digunakan untuk mengajak umat Islam dan masyarakat
manusia pada umumnya untuk mngikuti jalan hidup dan hukum yang diridhai Allah
Swt., demi kesejahteraan manusia itu sendiri dan kesejahteraan seluruh alam
semesta (rahmatan lil’âlamin).
5.
Menyampaikan
dan membela kebenaran (tawashaw bil-haq)
Fungsi kontrol
sosial atau pengawasan oleh masyarakat adalah merupakan fungsi terpenting dalam
menjaga keadilan, keselarasan, dan keberlangsungan suatu sistem peradaban
masyarakat yang meliputi subsistem: ideologi, politik, ekonomi, sosial,
pertahanan-keamanan, pendidikan dan budaya.
6.
Membela
dan menegakkan keadilan sosial bagi umat Islam dan bagi seluruh rakyat
Indonesia dan dunia
Terkait dengan
tugas dan perannya sebagai pembela kebenaran dan penentang kebatilan, maka
fungsi dan peran serta proaktif para jurnalis Muslim dalam menegakkan keadilan,
adalah misi/kewajiban utama setiap Muslim, terlebih lagi bagi para jurnalis
Islam.
7.
Memberikan
kesaksian atau mengungkap fakta dengan adil
Jurnalis Muslim
dapat berperan untuk menjaga kejujuran di masyarakat dan melawan
kebohongan-kebohongan yang membodohi dan menipu masyarakat. Dengan dilaksanakan
fungsi atau peran pemelihara dan penjaga kejujuran ini maka masyarakat tidak
akan dihancurkan oleh praktik-praktik korupsi-kolusi dan nepotisme (KKN) yang
melahirkan ketidakadilan sosial yang menyengsarakan rakyat banyak.
8.
Memerintahkan
kebaikan (amar ma’ruf) dan mencegah kemungkaran (nahyi munkar)
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan
beriman kepada Allah..,” (QS
Ali Imran [3] : 110).
9.
Menghalalkan
yang baik dan mengharamkan yang buruk
Jurnalis Islam
melalui tulisan tau tayangannya di media massa punya peran dan kewajiban untuk
menularkan kebaikan dan mempromosikan kehalalan segala sesuatu baik dalam hal
makanan, ucapan, perbuatan ataupun sikap dan mengharamkan segala keburukan bagi
masyarakatnya.
10. Memberi peringatan kepada para pelaku
kejahatan/dosa (nadziran), memberi kabar gembira/hiburan kepada para pelaku
kebaikan (basyiran0
“.. Dan berilah kabar gembira kepada
orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah),” (QS Al-Hajj [22] : 34).
11. Membela kepentingan kaum yang lemah
(imdad al-mustadh’afin) dan membebaskan umat dari beban dan belenggu yang
memasung mereka
Karena
informasi pada saat ini adalah suatu kekuatan/kekuasaan, maka jurnalis Muslim
yang menguasai informasi pun wajib memanfaatkan kekuatannya itu untuk membela
kaum yang lemah dan kaum yang dilemahkan (dhuafa dan mustadh’afin).
12. Memelihara dan menjaga persatuan dan kesatuan
umat Islam
Karena
peranan dan efek informasi yang multifacet (beragam wajah), yang bisa membawa
manfaat dan berkah, tetapi juga dapat membawa fitnah dan laknat, maka para
jurnalis Islam selayaknya menentukan kualitas isi dan pengaruh/efek dari
informasi yang disebar luaskannya.
Seorang
jurnalis Islami juga adalah seorang reformis & reformer (pembaharu) yang
berjuang mewujudkan cita-cita terbentuknya “Good Governance” (yaitu tata
kepemerintahan yang baik), pemberdayaan “Masyarakat madani” (civil society) dan
mengikis habis praktik-praktik KKN (Korupsi-kolusi & nepotisme).
Dari kelima
peran jurnalisme Islam di atas, dapat disimpulkan tiga unsur dalam praktek jurnalisme melalui media cetak;
1. at-Taujîh, yaitu
memberikan tuntutan dan pedoman serta jalan hidup melalui media cetak, mana
yang harus dilalui manusia dan jalan mana yang harus dihindari, sehingga
nyatalah jalan hidayah jalan yang sesat.
2. at-Tagyhîr, yaitu mengubah
dan memperbaiki keadaan pembaca kepada suasana hidup yang baru yang didasarkan
pada nilai-nilai Islam.
3. at-Tarjîh, yaitu
memberikan pengharapan akan sesuatu nilai agama yang disampaikan para
penulis-penulis. Dalam hal ini media cetak sebagai sarana dakwah harus mampu
menunjukkan nilai apa yang terkandung di dalam suatu pemerintah agama sehingga
dirasakan sebagai suatu kebutuhan vital dalam kehidupan masyarakat.
Adapun peran
dan tugas para jurnalis Islam menurut Ahmad Y Samantho yaitu
sebagai berikut:
1. Mendidik masyarakat Islam (ta’dib
al-ummah).
2. Mencari dan menggali
informasi/pengetahuan serta memberi dan menyebarkan informasi (ta’lim) yang
benar dan bermanfaat.
3. Melakukan seleksi, filterisasi dan chek
and rechek (tabayyun) terhadap berbagai informasi global untuk mmbentengi umat
Islam dari pengaruh buruk informasi (fitnah) global.
4. Mengajak dan menasehati umat dengan cara
yang baik untuk mengikuti jalan hidup Islam yang diridhai Allah (da’wah
ilallah).
5. Menyampaikan dan membela kebenaran
(tawashaw bil-haq).
6. Membela dan menegakkan keadilan sosial
bagi umat Islam dan bagi seluruh rakyat Indonesia dan dunia.
7. Memberikan kesaksian atau mengungkap
fakta dengan adil.
8. Memerintahkan kebaikan (amar ma’ruf) dan
mencegah kemungkaran (nahyi munkar).
9. Memberi peringatan kepada para pelaku
kejahatan/dosa (nadziran), memberi kabar gembira/hiburan kepada para pelaku
kebaikan (basyiran).
10. Membela kepentingan kaum yang lemah (imdad
al-mustadh’afin) dan membebaskan umat dari beban dan belenggu yang memasung
mereka.
11. Memelihara dan menjaga persatuan dan
kesatuan umat Islam.
EKSISTENSI JURNALISME ISLAM DALAM
SISTEM KOMUNIKASI INTERNASIONAL
Menurut
Onong Uchjana Effendi, komunikasi internasional adalah komunikasi yang
dilakukan komunikator yang mewakili suatu negara untuk menyampaikan pesan-pesan
yang berkaitan dengan berbagai kepentingan negaranya kepada komunikan yang
mewakili negara lain untuk memperoleh dukungan, bantuan, dan kerja sama,
melalui berbagai media. Komunikasi atau media massa internasional, lanjut
Effendi, adalah sebuah komunikasi yang interaksi dan ruang lingkupnya bersifat
lintas negara serta berlangsung di antara orang-orang yang berbeda kebangsaan
atau lembaga-lembaga dari negara yang berbeda-beda dan memiliki jangkauan
penyampaian pesan melintasi batas-batas wilayah suatu negara.
Ditilik
secara paradigmatis, bidang studi komunikasi internasional ditentukan
sekurangnya oleh tiga unsur, yaitu komunikator-komunikan terdiri dari bangsa
yang berbeda, pesan yang disampaikan berkaitan dengan masalah-masalah
internasional, dan saluran yang digunakan adalah saluran internasional. Meski
komunikator-komunikannya dari bangsa yang berbeda, apabila pesan yang dibahas
mengenai fitur mobil balap dan percakapannya terjadi di sebuah kafe, komunikasi
tersebut tidak bisa disebut komunikasi internasional. Akan tetapi, pembicaraan
tentang ekspor-impor mobil yang dibicarakan dua orang dari bangsa yang berbeda
dan terjadi di pameran internasional, termasuk dalam pengertian komunikasi
internasional.
Komunikasi
internasional lebih banyak menekankan kajian atau realitas politik memfokuskan
pada pesan yang bermuatan kebijakan dan kepentingan suatu negara dengan negara
lain sebagai realitas politik yang terkait dengan masalah ekonomi, politik,
pertahanan, dan lain-lain dan lebih khusus lagi kajian strategi komunikasi
internasional.
Dalam
perkembangannya, ditinjau dari sudut aplikasi, disiplin komunikasi
internasional kerap dipraktikkan dengan menggunakan empat pendekatan dominan,
yaitu pendekatan idealistik-humanistik, kepengikutan politik baru (political
proselytization), informasi sebagai kekuatan ekonomi dan kekuatan politik.
Secara ideal, komunikasi internasional ditujukan untuk mewujudkan saling
pengertian, saling mendukung, dan kerja sama antar manusia dan antar penduduk
di setiap negara.
Dalam
pendekatan idealistik-humanistik, komunikasi internasional diterapkan sebagai metode
untuk memupuk dan mempererat hubungan persahabatan dan kerja sama
internasional; memecahkan masalah-masalah hubungan antar manusia, antar
penduduk, dan antar bangsa; dan menemukan cara-cara untuk memelihara dan
meningkatkan kesejahteraan dunia semesta. Namun, dalam pergaulan internasional
tidak jarang terjadi gesekan-gesekan akibat penonjolan kepentingan yang sulit
dihindari atau dikendalikan. Di sini, pihak yang menguasai informasi serta
memiliki ambisi politik dan ekonoi serta berbagai sumber daya lainnya kerap
mengabaikan pihak lain.
Dalam
perspektif jurnalistik, komunikasi internasional adalah studi tentang berbagai
macam interaksi yang lebih bersifat mass mediated communication (MMC)
yang dilakukan antara dua atau beberapa negara yang berbeda latar belakan
budaya, bahasa, ideologi, politik, tingkat perkembangan ekonomi, dan
sebagaianya.
Komunikasi
internasional dalam arti bersifat MMC berbeda dengan bidang-bidang komunikasi
lainnya. Komunikasi intrernasional berbasis MMC memfokuskan perhatiannya pada
isu-isu sosial dan politik, ekonomi, dan kebudayaan serta pemanfaatan jaringan
media massa internasional. Dalam konteks ini, ada tiga kriteria yang membedakan
komunikasi internasional dengan bentuk komunikasi lainnya, sebagai berikut:
a. Jenis
pesannya bersifat internasional;
b. Komunikator
dan komunikannya berbeda kebangsaan;
c. Saluran
media yang digunakan bersifat internasional.
Kegiatan
komunikasi internasional dalam perspektif jurnalistik lazimnya dilakukan
melalui saluran media cetak dan media elektronik berupa pertukaran informasi untuk
menginformasikan peristiwa internasional, memengaruhi opini publik
internasional, menemukan peluang bisnis, atau mendorong upaya kerja sama.
Kegiatan
komunikasi internasional lazimnya berlangsung secara wajar, objektif, dan
alami. Sekurangnya kegiatan ini bersifat netral dan menghindari sikap
sengaja memojokkan pihak lain. Walaupun
demikian, ada kemungkinan perspektif jurnalistik digunakan secara subjektif
untuk kepentingan propaganda dengan tujuan akhir mengubah kebijakan dan
kepentingan satu negara atau memperlemah posisi negara lawan atau memperburuk
citra negara lain yang dipandang tidak/kurang bersahabat.
EKSISTENSI
JURNALISME ISLAM dalam Sistem Komunikasi
Internasional terlihat dari jejak-jejak historisnya yang bisa ditelusuri. Pada
tahun 1978 dalam konferensi Islam Asia di Karachi yang diselenggarakan oleh
Rabithah ‘Alam Islamy diputuskan perlunya mengembangkan koordinasi di antara
wartawan atau jurnalis dan pekerja
muslim untuk mengimbangi an menandingi monopoli Barat yang dikontrol kaum
Zionis dapat diklasifikasikan sebagai media atau pers Islam. Namun, cakupan
tersebut telah dipersempit dan dikhususkan dalam konferensi internasional
pertama wartawan dan pekerja media muslim di Jakarta pada bulan September 1981.
Konferensi tersebut dihadiri oleh sekitar 250 wartawan
muslim dari 50 negara. Para delegasi membicarakan rekomendasi komite persiapan
yang telah mengadakan pertemuan sebelumnya di Lefkosa tahun 1979. Para delegasi
tersebut tidak memberikan definisi apapun mengenai media atau pers Islam, akan
tetapi menerima persetujuan untuk para pekerja media muslim. Persetujuan dalam
konferensi itu hanya menekankan pada dua hal. Pertama, aturan berperilaku yang Islami
hendaknya menjadi dasar bagi setiap pekerja media muslim dalam kegiatan dan
tugas jurnalistiknya. Kedua, kepribadian Islam. Kedua hal tersebut sangat
menekankan pada konsolidasi keimanan individu muslim pada prinsip etika dan
nilai-nilai Islam sebagai kewajiban utama media muslim atau pers Islam.
Menurut Aslam Abdullah, saat sekarang ini tercatat
sekitar 42 kantor berita yang dikelola oleh negara-negara muslim. Dari sekian
banyak kantor berita tersebut, tidak satu pun yang dominan. Malahan, kantor
berita itu, dalam operasinya sangat bergantung pada kantor-kantor berita
dominan Barat. di negara-negara bekas penjajah Prancis dan Inggris seperti di
Timur Tengah dan Afrika, negara kolonial itu mendirikan kantor-kantor beritanya
sendiri yang disuplai oleh kantor berita AFP. William H. Meyer mengungkapkan
peta distribusi informasi dunia, yakni ketergantungan media cetak di Afrika
terhadap empat kantor berita raksasa dunia, yaitu AFP, Reuters, UPI dan AP
sebanyak 62% dan 56% di Amerika Latin (MISSI
2003: 15). Studi Meyer tersebut
setidaknya menunjukkan bahwa media Barat memang sangat dominan dalam memasok
informasi dunia. Kantor-kantor berita muslim kalaupun sanggup memproduksi
berita, tidak lebih dari 1000 kata dalam 24 jam. Sedangkan kantor-kantor berita
Barat mampu memproduksi ratusan ribu kata dalam 24 jam.
Organisasi Konferensi Islam (OKI) tampaknya sadar betul
akan ketimpangan arus informasi Barat dengan muslim ini. Untuk melepaskan diri
dari informasi agen-agen berita Barat, OKI lalu mendirikan kantor berita International Islamic News Agency (IINA)
yang diharapkan mampu menjadi penyeimbang atas informasi dan pemberitaan media
Barat yang seringkali bias. Pembentukkan IINA tersebut diputuskan pada
Konferensi Menteri-Menteri Luar Negeri Islam II tahun 1970. Di penghujung 1979,
IINA mulai memberikan pelayanan beritanya lewat bahasa Inggris dan Arab. Kantor
berita ini mengaku dapat mengakses informasi mencapai sepuluh ribu sampai dua
belas ribu kata per hari. Ia juga mengedarkan buletin berbahasa Spanyol yang dipasok ke Amerika Latin. Lembaga ini
pun merencanakan untuk membangun jaringan telekomunikasinya sendiri. Namun,
IINA hingga sekarang, gagal menjadi alternatif terhadap kantor-kantor berita
dunia yang ada.
Hingga kini, sebagaimana terungkap dalam survei 1986,
kebanyakan media Muslim yang berbahasa Inggris, Arab, Parsi, dan Urdu yang
terbit di 12 negara muslim, tetap saja mengambil sumber berita dari Barat.
Sampai saat sekarang ini, menurut Aslam, jumlah kantor berita yang dikuasai
muslim hanyalah 5%, sedangkan selebihnya (95%) dikuasai dan dikendalikan oleh
kantor-kantor berita Barat.
Dalam konteks nasional, nasib media Islam hampir sama
posisinya seperti yang terjadi dalam mkonteks global. Dari sekitar 275 pemilik
SIUPP, hanya 13 SIUPP yang mengatasnamakan media Islam. Tiga belas SIUPP itu di
antaranya, Panji Masyarakat Kiblat,
Panggilan Adzan, Amanah, Harmonis, Aku Anak Saleh, Adil, Semesta, Sinar
Darussalam, Suara Muhammadiyah, Suara Aisyiah dan AL-Akhirat. Belakangan di Bandung terbit Hikmah. Di samping penerbitan Islam dengan SIUPP, ada juga beberapa
media Islam yang dalam penerbitannya menggunakannya STT, seperti Media Dakwah, Suara Masjid, Suara
Hidayatullah, dan lain-lain.
Bila dilihat dari jumlah nominal umat Islam di Indonesia,
tentu saja jumlah media muslim yang terbit sekarang sangat kurang memadai.
Belakangan pasca reformasi, jurnalisme (pers) Islam semakin menggeliat dalam
merespons perubahan sosio-politik yang terjadi dengan maraknya penerbitan pers.
Hal ini terjadi setelah kran kebebasan pers dibuka oleh rezim transisi
pemerintahan Habibie. Saat itu, menteri penerangan yang dijabat Yunus Yosfiah
mengambil kebijakan berupa penghapusan SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan
Pers). Untuk memberikan jaminan kebebasan dan kemerdekaan pers, pemerintah
kemudian mengesahkan Undang-Undang Pokok Pers No.40 tahun 1999. Bukan rahasia
lagi bahwa hubungan Islam dan pemerintah sempat mengalami masa-masa sulit di
era rezim Orde Baru yang monolitik dan represif.
Pemaparan
terkait eksistensi Jurnalisme Islam dalam Sistem Komunikasi Internasional di
atas telah menunjukkan bahwa kegiatan pers dunia belum bisa didominasi oleh
media dan kantor berita muslim. Kendati demikian, adanya kantor berita muslim
yang berkontribusi terhadap produksi pemberitaan dunia telah membuktikan bahwa
masyarakat muslim dunia tidak hanya menjadi konsumen atau penerima berita saja.
Masyarakat muslim turut berpartisipasi untuk kemajuan perkembangan umat Islam
dalam sisi jurnalisme ataupun hal lainnya.
CONTOH FAKTUAL
Kasus dalam
Sistem Komunikasi Internasional dan Kaitannya dengan Jurnalisme Islam
Krisis Komunikasi Denmark Dan Dunia Islam
(Kasus Kartun Nabi)
Pada 30 september 2005, harian
Denmark, Jylland Posten,
memublikasikan 20 gambar karikatur Nabi Muhammad karya Kurt Westergaard.
Penerbitan karikatur itu jelas saja menuai kemarahan umat Islam di seluruh
dunia, karena dalam ajaran Islam penggambaran diri Nabi Muhammad dalam bentuk
apapun dilarang dan haram hukuumnya. Jyllands Posten adalah surat
kabar terbesar di Denmark.
Enam dari kedua belas karikatur tersebut
diterbitkan ulang di surat kabar Mesir, El Faqr, pada 30 Oktober
2005 untuk mendampingi sebuah artikel yang mengkritik keras tindakan Posten,
namun saat itu karikatur-karikatur ini belum mendapat perhatian yang besar di
luar Denmark. Hanya pada Desember 2005, saat Organisasi Konferensi Islam
mulai menyatakan penentangannya, barulah kontroversi ini menghangat di dunia.
Sebagian dari karikatur tersebut diterbitkan di surat kabar Norwegia, Magazinet, pada
tanggal 10 Januari 2006. Koran Jerman, Die Welt, surat kabar Perancis France Soir dan banyak surat kabar lain di
Eropa serta surat kabar di Selandia Baru dan Yordania.
Di Indonesia, tercatat ada dua media massa
menerbitkan karikatur-karikatur ini, masing-masing Tabloid Gloria (5
karikatur) dan Tabloid PETA. Pemimpin redaksi
(pemred) Gloria kemudian meminta maaf dan menarik
penerbitannya, sedangkan pemimpin umum dan pemred PETA dijadikan
tersangka.
Pemerintah Denmark menyesalkan
penerbitan karikatur tersebut , namun tetap mengedepankan dalih kebebasan pers.
Sikap Pemerintah Denmark itu merupakan suatu hal yang sulit diterima
Negara-negara berpenduduk Muslim.
Di tinjau dari perspektif
diplomatik, permintaan para duta besar untuk bertemu langsung dengan Perdana
Menteri Denmark tidak digubris. Akibatnya, para dubes menjadi kecewa dan marah,
dan melaporkan hal ini kepada Pemerintah pusat masing-masing, yang semuanya
mengangkat isu ini menjadi masalah Internasional.
Sementara itu, amarah menjalar di
seluruh dunia Islam, mulai dari protes damai hingga aksi kekerasan. Di Denmark,
sekelompok masyarakat mengirim e-mail masal kepada dunia Islam yang berisi
permintaan maaf dan mengutuk penerbitan kartun tersebut. Arab Saudi dan Suriah
melakukan protes keras dengan memanggil pulang duta besar mereka untuk Denmark.
Dijalur Gaza, puluhan orang bersenjata mengepung kantor Uni Eropa. Di najaf,
Irak, ratusan orang berunjuk rasa sambil membakar bendera Denmark. Pemerintah
Iran bersikap lebih keras lagi hingga mengeluarkan larangan impor dari dan
menghentikan hubungan dagang dengan Denmark. Bisnis perusahaan-perusahaan
Denmark merosot drastis di Timur Tengah akibat aksi Boikot terhadap
produk-produk Eropa. Di Indonesia juga ada reaksi keras, dan sempat terjadi
demonstrasi di depan Kedutaan Besar Denmark.
Mohammad Shoelhi, Propaganda dalam Komunikasi Internasional,
(Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2002) hal 7
Mohammad Shoelhi, Propaganda dalam Komunikasi Internasional,
(Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2002) hal 7.
|