0
Resensi Buku Negeri 5 Menara
Keterpaksaan yang Menjadi Kesyukuran
Judul Novel :
Negeri Lima Menara
Pengarang : Ahmad
Fuadi
Penerbit : PT
Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2009.
Cetakan Pertama
Jumlah Halaman : xi + 419
halaman
Belajar yang termasuk
dalam ibadah dikaitkan kepada hubungan manusia dengan Tuhannya. Namun, belajar tidak melulu di sekolah atau
di perpustakaan, membaca tumpukan buku pelajaran, dan mendengar ceramah dari
guru. Belajar di Pondok Pesantren banyak menjadi alternatif atau solusi orang
tua untuk mendidik anaknya agar menjadi pribadi yang baik. Namun, bukan berarti untuk menghilangkan atau
mengurangi peran orang tua dalam mendidik anak. Novel Ahmad Fuadi yang berjudul
Negeri Lima Menara menjadi salah satu dari sekian banyak novel tentang agama
yang menceritakan tentang bagaimana beribadah yang baik, belajar yang tekun
hingga dapat mencapai cita-cita.
Ahmad Fuadi telah
memperoleh sebanyak delapan beasiswa pendidikan di dalam dan luar negeri,
menjadi wartawan Tempo sampai menjadi wartawan Voice Of America (VOA). Semangat
yang luar biasa dari “mantra” sederhana yang Ia dapat ketika bersekolah di
Gontor, yaitu man jadda wa jada.
Siapa yang bersungguh-sungguh maka Ia akan berhasil.
Hal utama yang dikemukakan dalam novel ini adalah kisah
nyata seorang Ahmad Fuadi dan teman-temannya ketika bersekolah di Pondok
Pesantren, mengarungi arus kehidupan dengan penuh semangat, belajar, beribadah,
dan tentu juga memperluas tali silaturahmi dengan umat islam.
Cerita dalam novel ini
bermula ketika seorang anak yang bernama Alif Fikri ingin melanjutkan
pendidikannya dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) ke Sekolah Menengah Atas
(SMA). Alif memiliki prestasi yang cukup baik karena nilai ujian kelulusanya
termasuk sepuluh yang tertinggi di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Dengan nilai
yang baik itu, Ia ingin melanjutkan pendidikannya di SMA terbaik di
Bukittinggi. Namun, kedua orangtuanya menyuruh Ia untuk melanjutkan
pendidikannya ke Pondok Madani. Pondok Pesantren yang berlokasi di Ponorogo,
Jawa Timur. Hal ini karena orangtua Alif ingin anaknya menjadi pribadi yang pandai
dalam pengetahuan tetapi juga agamis. Berkali-kali membantah, tetapi akhirnya
Alif menuruti kemauan orangtuanya.
Berawal dari niat yang
setengah-setengah, Alif menikmati sekolahnya di Pondok Madani. Awalnya Ia kaget
dengan segala peraturan yang ada. Namun, Ia tetap menaati peraturan yang
berlaku. Di Pondok itulah, ia mempunyai empat sahabat yang baik dan selalu berorientasi
kepada masa depan. Alif dan sahabat-sahabatnya sering duduk di bawah menara di
Pondok Madani. Dari situlah, mereka berkhayal, bermimpi, sambil melihat
gumpalan-gumpalan awan yang ada di langit. Belajar dan belajar. Ya, hal itu
menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi Alif dan sahabat-sahabatnya. Hingga
mereka lulus dengan nilai yang baik dan berhasil mencapai cita-cita.
Kalimat-kalimat
yang bisa terdapat dalam novel ini dapat memotivasi orang lain untuk lebih
semangat dalam belajar dan dalam beribadah. Pesan agar tidak meremehkan mimpi
dan agar setiap orang dapat menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya. Selain
itu, di dalam novel ini terdapat banyak kata-kata yang asing di telinga kita atau
kalimat daerah, tetapi penulis menambahkan keterangan pada catatan kaki
sehingga dapat memudahkan pembaca dalam memahami tulisan dalam novel ini.
Novel ini sangat cocok
untuk orang yang sedang menempuh pendidikan, seperti pelajar dan mahasiswa
karena dalam novel ini terdapat kisah-kisah yang yang menggelorakan semangat
para pembaca. Semangat untuk mewujudkan impian sekaligus memberi keyakinan
bahwa kesungguhan akan membuahkan keberhasilan.